Banyak kita membaca dan mempelajari sejarah bangsa-bangsa
didunia, timbul dan tenggelamnya, rebah dan bangunnya.
Banyak kita mempelajari sejarah segala cita dan idea, pandangan
hidup dan keyakinan hidup sesuatu bangsa, iman dan kepercayaan suatu ummat,
dalam lintasan segala abad dan kurun.
Kita menyaksikan awal suatu bangsa, sebab kebangunan suatu
ummat, pada umumnya didorong dan digerakkan oleh orator dan agitator, redenar
dan Juru Da’wah yang inuhung, propagandis yang ulung.
Layar sejarah bangsa-bangsa pada umumnya mementaskan peranan
penting dan utama dari juara mimbar, jago pidato.
Dengan kuasa dan kekuatan lisan yang dimiliknya, para orator
berhasil menegakkan kembali kepada bangsanya yang sudah terbenam dalam lumpur
kehinaan dan kerendahan.
Kita menyaksikan badai kebangkitan Turki Muda dengan petunjuk
lisan kuat dari pemimpinnya Mustafa Kemal. Siapa yang kenal dengan pidato besar
dari bapak Turki itu tahun 1927 yang diucapkannya tidak kurang dari 36 jam
lamanya ?
Kita menyaksikan gelombang-kebangunan kembali bangsa Jerman yang
telah remuk akibat Perang Dunia I dengan lidah-bajanya Hitler.
Kita menyaksikan sejarah kebangunan dan perjuangan Ummat Islam
Indonesia dibawah kuat-kuasanya lisan orator Cokroaminoto dan redenar yang
belum ada taranya H. Agus Salim.
Kita menyaksikan peranan Bung Karno telah merupakan tenaga
pemersatu bangsa Indonesia yang besar
pada waktu itu !
Riwayat kebangunan dan perjuangan India tidak boleh dilepaskan
dari jasa dan peranan seorang redenar besar ialah Vivekananda.
Tidak usah kita meneruskan menyusun daftar nama para orator
bangsa-bangsa yang lain. Pendek kata disegala bangsa, disegala tingkat
kehidupan dan taraf perjuangan bangsa-bangsa didunia, kita menyaksikan peranan
penting yang dimainkan oleh para juara-mimbar, orator dan agitator.
Para Nabi dan Rasul yang dikirim kedunia, pada umumnya adalah
ahli pidato yang ulung, Juru Da’wah yang bijak, Muballigh yang tangkas.
Ahli pidato yang dengan kekuatan dan kuasa lisannya dapat
membangunkan kembali keyakinan dan harapan bangsanya yang telah remuk dan
redam.
Ahli pidato dan dengan kekuasaan lidahnya dapat mengakkan
kembali tubuh bangsanya yang sudah tersungkur, patah semangat, tiada lagi daya
juang dan daya perlawanan.
Kuat dan kuasanya lidah dapat meyakinkan suatu bangsa kepada
suatu idea dan cita, yang tadinya asing tidak dikenal, baru dan tabu.
Kuat kuasanya lidah malah dapat menyunglap benda loyang dan
kuningan, berganti roman dan rupanya menjadi emas tulen, menyunglap suatu
kehampaan menjadi suatu yang berisi dan berarti, dalam pandangan.
Orator yang ulung berkuasa memasukkan massa rakyat kedalam
lobang gelap, tanpa pengetahuan dan pengertian sama-sekali akan bagaimana
nasibnya nanti dalam lobang yang menakutkan itu.
Orator yang telah menguasai jantung hati rakyat banyak, malah
dapat menggiring mereka kepadang maut, tanpa bertanya untuk apa sebenarnya
kematian dirinya setelah dia binasa dan sirna.
Kuat dan kuasanya lisan mengandung daya-kesaktian dalam proses
sejarah manusia.
Lisan berkuasa membuat dunia dalam gambaran menjadi taman sorga
yang membahagiakan seluruh Insan, juga berkuasa menghamburkan kemusnahan bagi
seluruh kemanusiaan, membuat dunia ini menjadi padang sahara tandus yang
mengerikan.
Lisan berkuasa mengangkat kecerdasan bangsa ketingkat yang
tinggi, terhormat dan beradab, lisan juga berkuasa menghempas-remukkan suatu
bangsa ketepi-pantainya kebinasaan dan kemusnahan.
Lisan berkuasa membuat hidup ini lebih ber-Bahagia dan
ber-Cahaya, juga berkuasa membuat hidup menjadi kering dan kersang.
Lisan berkuasa menegakkan Iman dan kepercayaan dalam hati dan
budi segala manusia, tapi juga berkuasa melahirkan manusia-manusia liar anti Tuhan
dan anti Agama.
Lisan berkuasa menumbuhkan keyakinan dalam diri manusia, tapi juga dapat mencetak manusia-manusia yang penuh kesangsian dan ketidak pastian.
Dunia dan manusia senantiasa menjadi sasaran dari kedua lisan
yang selalu mencerdaskan dan menuturkan suatu pandangan dan makna kehidupan.
Dunia dan manusia selalu menjadi objek, benda rebutan dari dua kekuasaan dalam perang
permanen : lisan ke-Tuhanan
dan lisan kesyetanan,
lisan Iman
dan lisan kufur,
lisan al Haq
dan lisan bathil.
Saudara ! Tidak ada titik pertemuan antara lisan Ketuhanan
dengan lisan syetan, antara lisan Iman dengan lisan kufur, lisan Haq dengan
lisan bathil.
Perang permanen antara kekuatan ini tidak akan berhenti selama
dunia dan alam ini masih terkembang.
Lisan Iman memberikan jalan keluar (alternatif) bagi
kemanusiaan, lidah kufur membenturkan kepada manusia ketembok-betonnya
kemusnahan dan bencana.
Da’wah atau propaganda adalah ucapan kehidupan, ucapan kelakuan
kemanusiaan, ucapan pandangan dan kepercayaan.
Menyusun lisan ketuhanan dan lidah kebenaran ditengah-tengah
debu kehidupan yang bergolak senantiasa ini, itulah tugas dari Ummat Tauhid.
Dunia dan manusia jangan dibiarkan hanya mendengarkan kebohongan
dan kepalsuan.
Kemajuan dan kemanusiaan jangan dibiarkan berjalan tanpa
pegangan dan pedoman.
Pembangunan bangsa dan negara jangan dilepaskan dari unsur budi
dan ruhani.
Shahibud Da’wah harus selalu memberikan makan dan guna, arti dan
isi kepada kehidupan dan kemanusiaan.
Juru Da’wah adalah lisan Ketuhanan yang berbicara kepada manusia
dengan istilah-istilah manusia itu sendiri.
Lisan kebenaran membawa suatu bingkisan buat dunia dan manusia,
apa sesungguhnya isi dan arti, makna dan guna dari kehidupan dan kemanusiaan.
Rahasia dan misteria Hidup, rahasia dan misteria manusia dalam
proses sejarah yang panjang dalam ukuran bidang dan ruang, semua itu hanya
dapat dipecahkan oleh lisan kebenaran dan lisan Ketuhanan.
Lidah kebenaran dan lisan ketuhanan membuka pengertian tentang
hakekat kehidupan, hidup yang berma’na dan berguna, berarti dan berisi.
Lidah kebenaran dan lisan Ketuhanan harus berkumandang, suara Al
Haq harus bergema ditengah-tengah pertemuan segala manusia. Kekuatan keyakinan,
tenaga Iman dan Agama, harus memberikan pegangan tempat bergantung dan bumi
tempat berpijak kepada Bani Insan, harus memberikan pengertian dan
pertimbangan; harus ada imbangan pimpinan untuk pilihan dunia dan kemanusiaan.
Lisan Ketuhanan dan lidah kebenaran tidak boleh bungkem menonton
perkembangan dunia perjalanan manusia.
Lisan Ketuhanan dan lidah kebenaran tidak boleh diam tertegun
bertupang dagu menyaksikan lalu serta lintasnya manusia.
Lisan Ketuhanan dan lidah kebenaran tidak boleh mendiamkan saja
manusia di-traktir dengan semboyan dan harapan-harapan baru, yang sesungguhnya permainan
sunglap dari lidah kebathilan dan kepalsuan.
Lisan Ketuhan dan lidah kebenaran harus aktif dan positif
memberikan bimbingan dan pimpinan kepada manusia, harus mampu memberikan alternatif
kepada manusia.
Suara Hira dan Tursina, seruan Nuh dan ajakan Ibrahim, lidah
Musa dan Isa, kumandang Da’wah Muhammad kepada dunia, baru memenuhi udara ini
kembali. Bergema dan berkumandang terus, bertali dan bersambung dari ufuk yang
satu keufuk yang lain, melintas dan melintas senantiasa dari benua kebenua.
Tunjukkan kepada manusia pilihan yang benar, agar mereka tidak
tersesat jalan ditengah sahara hidup yang luas ini.
Manusia memerlukan kepada Safinatun
Nuh dikala banjir menimpa perut bumi.
Bani Insan tengah mencari Chemah
Ibrahim tempat mereka berlindung dan berteduh,
memulangkan kembali harapan dan kekuatan kemanusiaan dalam dirinya.
Lisan kebenaran dan kaum Mu’minin harus ada keberanian budi
untuk menuturkan suara wahyu dari alam ghaib, hikmah-kegunaan Nubuwwah dan
Risalah untuk seluruh alam.
Dunia dan kemanusiaan menantikan suara dari alam Islam; dunia
dan kemanusiaan menantikan jawaban dari Ummat yang Bertuhan dan ber Agama.
Dunia Islam sendiri tengah menantikan berkumandangnya kembali Da’wah
Ibnu Taimiyah, ngaum suaranya Jamaluddin Al-Afghany, Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridla.
Telah lama dunia Islam tidak mendengar lagi gempitanya suara
dari para Mujahiddin yang telah pergi.
Dari Alam barzach para Syuhada’ itu melintas bayangan ghaib
menayakan : apakah tak ada lagi sambungan lidah kami
ditengah kesibukan dunia dan manusia kini ?
Kepada Shahibud Da’wah yang berwatak, calon Muballigh yang mempunyai masadepan yang gemilang, kepada segenap Mu’minin dan Mujahiddin, kepada seluruh pemikir dan pejuan Islam, kepada semua fungsionaris Da’wah terserah untuk menjawab pertanyaan itu.
Lisan kebenaran dan lidah keimanan harus aktif memberikan darah
suci kepada tubung kemanusiaan, aktif dan positif berkata dan berbicara kepada
dunia, demi untuk menyelamatkan manusia dan dunia dari bencana keruntuhan.
Lisan dari para Juru Da’wah yang berwatak, lidah Muballigh Islam
yang berkarakter, harus membangunkan Ummat kembali, menegakkan kepada Ummat.
Lisan para Juru Da’wah harus pandai membawa Ummat ini memandang ketepi langit,
melihat dengan Bashirah, hidup denag ‘Aqidah, dan kelak Ummat ini akan tahu,
bahwa diufuk jauh sebelah sana ada sebutir terang....
Sebutir terang itulah yang menumbuhkan kekuatan dan harapan.
Awan mendung tebal yang menyelimuti kemanusiaan akan segera lenyap
dan tiada, jikalau para Juru Da’wah menggunakan lisannya kembali, Lisan
keimanan, lidah kebenaran !
Didalam-keimanan dan kebenaran itu terletak kekuatan kita.
Do’a Nabi Ibrahim as. Yang diabadikan dalam Al Qur’an Surat
Assyu’ara ayat 83-84, dalam maknanya bagi Juru Da’wah yang menyadari fungsinya
sebagai penyambung lidah segala Nabi dan Rasul :
Wahai Tuhanku !
Berilah kepadaku hukum (agama, kekuatan dan kekuasaan), dan
masukkanlah diriku dalam golongan kaum shalihin.
Dan jadikanlah bagiku lidah kebenaran, menjadi sebutan dan pujian
dari ummat yang akan datang.
Faham dan renungkanlah makna dan rahsia do’a ini, dalam memenuhi tugas merampungkan
risalah-besar yang dibebankan kepada kita semua !