III. KUASA LISAN

 

Banyak kita membaca dan mempelajari sejarah bangsa-bangsa didunia, timbul dan tenggelamnya, rebah dan bangunnya.

Banyak kita mempelajari sejarah segala cita dan idea, pandangan hidup dan keyakinan hidup sesuatu bangsa, iman dan kepercayaan suatu ummat, dalam lintasan segala abad dan kurun.

Kita menyaksikan awal suatu bangsa, sebab kebangunan suatu ummat, pada umumnya didorong dan digerakkan oleh orator dan agitator, redenar dan Juru Da’wah yang inuhung, propagandis yang ulung.

Layar sejarah bangsa-bangsa pada umumnya mementaskan peranan penting dan utama dari juara mimbar, jago pidato.

Dengan kuasa dan kekuatan lisan yang dimiliknya, para orator berhasil menegakkan kembali kepada bangsanya yang sudah terbenam dalam lumpur kehinaan dan kerendahan.

Kita menyaksikan badai kebangkitan Turki Muda dengan petunjuk lisan kuat dari pemimpinnya Mustafa Kemal. Siapa yang kenal dengan pidato besar dari bapak Turki itu tahun 1927 yang diucapkannya tidak kurang dari 36 jam lamanya ?

Kita menyaksikan gelombang-kebangunan kembali bangsa Jerman yang telah remuk akibat Perang Dunia I dengan lidah-bajanya Hitler.

Kita menyaksikan sejarah kebangunan dan perjuangan Ummat Islam Indonesia dibawah kuat-kuasanya lisan orator Cokroaminoto dan redenar yang belum ada taranya H. Agus Salim.

Kita menyaksikan peranan Bung Karno telah merupakan tenaga pemersatu bangsa Indonesia yang  besar pada waktu itu !

Riwayat kebangunan dan perjuangan India tidak boleh dilepaskan dari jasa dan peranan seorang redenar besar ialah Vivekananda.

Tidak usah kita meneruskan menyusun daftar nama para orator bangsa-bangsa yang lain. Pendek kata disegala bangsa, disegala tingkat kehidupan dan taraf perjuangan bangsa-bangsa didunia, kita menyaksikan peranan penting yang dimainkan oleh para juara-mimbar, orator dan agitator.

Para Nabi dan Rasul yang dikirim kedunia, pada umumnya adalah ahli pidato yang ulung, Juru Da’wah yang bijak, Muballigh yang tangkas.

Ahli pidato yang dengan kekuatan dan kuasa lisannya dapat membangunkan kembali keyakinan dan harapan bangsanya yang telah remuk dan redam.

Ahli pidato dan dengan kekuasaan lidahnya dapat mengakkan kembali tubuh bangsanya yang sudah tersungkur, patah semangat, tiada lagi daya juang dan daya perlawanan.

Kuat dan kuasanya lidah dapat meyakinkan suatu bangsa kepada suatu idea dan cita, yang tadinya asing tidak dikenal, baru dan tabu.

Kuat kuasanya lidah malah dapat menyunglap benda loyang dan kuningan, berganti roman dan rupanya menjadi emas tulen, menyunglap suatu kehampaan menjadi suatu yang berisi dan berarti, dalam pandangan.

Orator yang ulung berkuasa memasukkan massa rakyat kedalam lobang gelap, tanpa pengetahuan dan pengertian sama-sekali akan bagaimana nasibnya nanti dalam lobang yang menakutkan itu.

Orator yang telah menguasai jantung hati rakyat banyak, malah dapat menggiring mereka kepadang maut, tanpa bertanya untuk apa sebenarnya kematian dirinya setelah dia binasa dan sirna.

Kuat dan kuasanya lisan mengandung daya-kesaktian dalam proses sejarah manusia.

Lisan berkuasa membuat dunia dalam gambaran menjadi taman sorga yang membahagiakan seluruh Insan, juga berkuasa menghamburkan kemusnahan bagi seluruh kemanusiaan, membuat dunia ini menjadi padang sahara tandus yang mengerikan.

Lisan berkuasa mengangkat kecerdasan bangsa ketingkat yang tinggi, terhormat dan beradab, lisan juga berkuasa menghempas-remukkan suatu bangsa ketepi-pantainya kebinasaan dan kemusnahan.

Lisan berkuasa membuat hidup ini lebih ber-Bahagia dan ber-Cahaya, juga berkuasa membuat hidup menjadi kering dan kersang.

Lisan berkuasa menegakkan Iman dan kepercayaan dalam hati dan budi segala manusia, tapi juga berkuasa melahirkan manusia-manusia liar anti Tuhan dan anti Agama.

Lisan berkuasa menumbuhkan keyakinan dalam diri manusia, tapi juga dapat mencetak manusia-manusia yang penuh kesangsian dan ketidak pastian.

Dunia dan manusia senantiasa menjadi sasaran dari kedua lisan yang selalu mencerdaskan dan menuturkan suatu pandangan dan makna kehidupan.

Dunia dan manusia selalu menjadi objek, benda rebutan dari dua kekuasaan dalam perang permanen : lisan ke-Tuhanan dan lisan kesyetanan, lisan Iman dan lisan kufur, lisan al Haq dan lisan bathil.

Saudara ! Tidak ada titik pertemuan antara lisan Ketuhanan dengan lisan syetan, antara lisan Iman dengan lisan kufur, lisan Haq dengan lisan bathil.

Perang permanen antara kekuatan ini tidak akan berhenti selama dunia dan alam ini masih terkembang.

Lisan Iman memberikan jalan keluar (alternatif) bagi kemanusiaan, lidah kufur membenturkan kepada manusia ketembok-betonnya kemusnahan dan bencana.

Da’wah atau propaganda adalah ucapan kehidupan, ucapan kelakuan kemanusiaan, ucapan pandangan dan kepercayaan.

Menyusun lisan ketuhanan dan lidah kebenaran ditengah-tengah debu kehidupan yang bergolak senantiasa ini, itulah tugas dari Ummat Tauhid.

Dunia dan manusia jangan dibiarkan hanya mendengarkan kebohongan dan kepalsuan.

Kemajuan dan kemanusiaan jangan dibiarkan berjalan tanpa pegangan dan pedoman.

Pembangunan bangsa dan negara jangan dilepaskan dari unsur budi dan ruhani.

Shahibud Da’wah harus selalu memberikan makan dan guna, arti dan isi kepada kehidupan dan kemanusiaan.

Juru Da’wah adalah lisan Ketuhanan yang berbicara kepada manusia dengan istilah-istilah manusia itu sendiri.

Lisan kebenaran membawa suatu bingkisan buat dunia dan manusia, apa sesungguhnya isi dan arti, makna dan guna dari kehidupan dan kemanusiaan.

Rahasia dan misteria Hidup, rahasia dan misteria manusia dalam proses sejarah yang panjang dalam ukuran bidang dan ruang, semua itu hanya dapat dipecahkan oleh lisan kebenaran dan lisan Ketuhanan.

Lidah kebenaran dan lisan ketuhanan membuka pengertian tentang hakekat kehidupan, hidup yang berma’na dan berguna, berarti dan berisi.

Lidah kebenaran dan lisan Ketuhanan harus berkumandang, suara Al Haq harus bergema ditengah-tengah pertemuan segala manusia. Kekuatan keyakinan, tenaga Iman dan Agama, harus memberikan pegangan tempat bergantung dan bumi tempat berpijak kepada Bani Insan, harus memberikan pengertian dan pertimbangan; harus ada imbangan pimpinan untuk pilihan dunia dan kemanusiaan.

Lisan Ketuhanan dan lidah kebenaran tidak boleh bungkem menonton perkembangan dunia perjalanan manusia.

Lisan Ketuhanan dan lidah kebenaran tidak boleh diam tertegun bertupang dagu menyaksikan lalu serta lintasnya manusia.

Lisan Ketuhanan dan lidah kebenaran tidak boleh mendiamkan saja manusia di-traktir dengan semboyan dan harapan-harapan baru, yang sesungguhnya permainan sunglap dari lidah kebathilan dan kepalsuan.

Lisan Ketuhan dan lidah kebenaran harus aktif dan positif memberikan bimbingan dan pimpinan kepada manusia, harus mampu memberikan alternatif kepada manusia.

Suara Hira dan Tursina, seruan Nuh dan ajakan Ibrahim, lidah Musa dan Isa, kumandang Da’wah Muhammad kepada dunia, baru memenuhi udara ini kembali. Bergema dan berkumandang terus, bertali dan bersambung dari ufuk yang satu keufuk yang lain, melintas dan melintas senantiasa dari benua kebenua.

Tunjukkan kepada manusia pilihan yang benar, agar mereka tidak tersesat jalan ditengah sahara hidup yang luas ini.

Manusia memerlukan kepada Safinatun Nuh dikala banjir menimpa perut bumi.

Bani Insan tengah mencari Chemah Ibrahim tempat mereka berlindung dan berteduh, memulangkan kembali harapan dan kekuatan kemanusiaan dalam dirinya.

Lisan kebenaran dan kaum Mu’minin harus ada keberanian budi untuk menuturkan suara wahyu dari alam ghaib, hikmah-kegunaan Nubuwwah dan Risalah untuk seluruh alam.

Dunia dan kemanusiaan menantikan suara dari alam Islam; dunia dan kemanusiaan menantikan jawaban dari Ummat yang Bertuhan dan ber Agama.

Dunia Islam sendiri tengah menantikan berkumandangnya kembali Da’wah Ibnu Taimiyah, ngaum suaranya Jamaluddin Al-Afghany, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla.

Telah lama dunia Islam tidak mendengar lagi gempitanya suara dari para Mujahiddin yang telah pergi.

Dari Alam barzach para Syuhada’ itu melintas bayangan ghaib menayakan : apakah tak ada lagi sambungan lidah kami ditengah kesibukan dunia dan manusia kini ?

Kepada Shahibud Da’wah yang berwatak, calon Muballigh yang mempunyai masadepan yang gemilang, kepada segenap Mu’minin dan Mujahiddin, kepada seluruh pemikir dan pejuan Islam, kepada semua fungsionaris Da’wah terserah untuk menjawab pertanyaan itu.

Lisan kebenaran dan lidah keimanan harus aktif memberikan darah suci kepada tubung kemanusiaan, aktif dan positif berkata dan berbicara kepada dunia, demi untuk menyelamatkan manusia dan dunia dari bencana keruntuhan.

Lisan dari para Juru Da’wah yang berwatak, lidah Muballigh Islam yang berkarakter, harus membangunkan Ummat kembali, menegakkan kepada Ummat. Lisan para Juru Da’wah harus pandai membawa Ummat ini memandang ketepi langit, melihat dengan Bashirah, hidup denag ‘Aqidah, dan kelak Ummat ini akan tahu, bahwa diufuk jauh sebelah sana ada sebutir terang....

Sebutir terang itulah yang menumbuhkan kekuatan dan harapan.

Awan mendung tebal yang menyelimuti kemanusiaan akan segera lenyap dan tiada, jikalau para Juru Da’wah menggunakan lisannya kembali, Lisan keimanan, lidah kebenaran !

Didalam-keimanan dan kebenaran itu terletak kekuatan kita.

Do’a Nabi Ibrahim as. Yang diabadikan dalam Al Qur’an Surat Assyu’ara ayat 83-84, dalam maknanya bagi Juru Da’wah yang menyadari fungsinya sebagai penyambung lidah segala Nabi dan Rasul :

Wahai Tuhanku !

Berilah kepadaku hukum (agama, kekuatan dan kekuasaan), dan masukkanlah diriku dalam golongan kaum shalihin.

Dan jadikanlah bagiku lidah kebenaran, menjadi sebutan dan pujian dari ummat yang akan datang.

Faham dan renungkanlah makna dan rahsia do’a  ini, dalam memenuhi tugas merampungkan risalah-besar yang dibebankan kepada kita semua !