Apa yang kita kemukakan diatas, pengaruh peranan lisan dari ahli
pidato dalam proses kehidupan dan perkembangan masyarakat, berlaku seluruhnya
buat tulisan para pengarang.
Lisan dan tulisan berjalan seiring, pena dan pidato bergerak serempak,
bersama-sama.
Malah, tulisan dan jejak pena seorang pengarang, menjadi pelopor
dari suatu pemikiran, pandangan dan keyakinan, idea dan cita.
Revolusi-revolusi besar didunia, selalu didahuli oleh jejak pena
dari seorang pengarang. Pena pengarang mencetuskan suatu idea dan cita, menjadi
bahan pemikiran, pedoman berjuang.
Revolusi Perancis bergerak dibawah
cahaya pikiran dan cetusan pandangan yang dirintiskan oleh J.J. Rousseu dan Montesquieu.
Revolusi Amerika dibimbing oleh “Declaration of Independence”
(Fatwa Kemerdekaan) yang sampai kini dijadikan pedoman besar oleh bangsa
Amerika.
Revolusi Rusia dan perjuangan kaum
Komunis diseluruh Indonesia sampai dengan buku ini ditulis (1964) dipimpin oleh
“Comunistisch Manifest”,
karya Marx dan Engels.
Nazi Jerman bergerak dibawah petunjuk buku Mein Kampf buah tangan
pemimpin mereka Hitler.
Revolusi Tiongkok berpedoman kepada San Min Chu I karangan Sun Yat Sen.
Revolusi Indonesia didahului oleh
pemikiran-pemikiran revolusioner dari Bung Karno,
Hatta, Syahrir dan Tan Malaka.
Pidato pembelaan Bung Karno dimuka pengadilan kolonial di Bandung “Indonesia Menggugat”, brosur revolusioner “Mencapai Indonesia Merdeka” (MIM), pidato pembelaan Bung Hatta dimuka pengadilan Den Haag yang berjudul “Indonesia Vrij” dan buku kecilnya “Kearah Indonesia Merdeka” (KIM), tulisan-tulisan Syahrir dalam “Daulat Rakyat” tentang taktik dan strategi perjuangan, buku-buku Tan Malaka yang diselundupkan dari luar negeri, semua itu telah menjadi aspirasi dan inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan tanah air.
Renaissance alam Islamy, gerakan
reformasi dan Modernisasi dalam dunia Islam terutama bersumber kepada buah pena
Ibnu Taimiyah, Jamaluddin Al Afghany, Muhammad
Abduh, Rasyid Ridla, Amir Syakib Arsalan dan Abdurrahman Al Kawakiby.
Pembinaan Negara Islam Pakistan didahului oleh buku-buku Mohammad Iqbal.
Demikianlah buah pena pengarang dan pujangga mendahului
kebangkitan bangsa-bangsa didunia, lebih dalam pengaruhnya dari gelombang
suara, pengaruh lisan ahli pidato.
Pidato lisan dari seorang orator, sesa’at dapat memikat jutaan
massa rakyat, tapi bisa lepas kembali tiada membekas dan menyerap dalam hati.
Itulah sebabnya orator mengulang kembali dan terus menerus
secara lestari, keyakinan dan pandangan yang dipropagandakannya kepada
masyarakat ramai.
Tulisan atau pena seorang pengarang, cukup berbicara satu kali,
melekat terus dalam hati dan menjadi buah tutur setiap hari.
Tidak banyak kita melihat seorang redenar juga menjadi seorang
pengarang yang ulung. Sebaliknya, tidak banyak kita melihat pengarang kenamaan
juga menjadi orator yang masyhur.
Bung Hatta lebih pandai mengarang, pidatonya “tidak menarik”
siorang banyak. Panitya Penyelenggara “KUMPULAN
KARANGAN” Hatta mengatakan diantara lain :
Tetapi Mohammad Hatta tidak pandai berpidato. Ayun suaranya
tidak bisa memikat hati orang banyak dan kekuatan katanya hanya terletak pada
isinya. Isi katanya lebih enak dibaca dari pada didengar. Barangkali inilah
sebabnya beliau mencari kekuatannya didalam menuliskan pikirannya.
Sifat yang ganjil ini barangkali tertahan selama asuhannya dari
kecil. Suasana keagamaan serta aktivitet ekonomi dalam rumah tangga orang
tuanya menjadikan beliau orang yang taat pendiam tidak suka banyak bicara.
Hanya jabatannya kemudian sebagai pemimpin rakyat dan pemimpin negara memaksa
beliau harus banyak berpidato. Tetapi meskipun demikian, beliau tidak pernah
menjadi seorang orator. Kekuatannya tidak terletak dalam menghadapi rapat umum,
melainkan rapat chusus dengan pemimpin dan pemuka, dimana beliau dapat mengupas
dan menguraikan rupa-rupa masalah negara dan masyarakat secara logis dan
analistis. Cara beliau berbicara biasanya tenang.
Akan tetapi jika mengenai so’al yang prinsipil sekali, beliau
bisa juga berpidato yang berapi-api dengan ayun suara dan pilihan kata-kata
yang tangkas. Umpamanya saja pidatonya yang bersejarah dalam sidang Komite
Nasional Pusat di Malang pada tahun 1947, waktu membela Penetapan Presiden No.
6, sangat mengagumkan semua yang hadlir. Logika, analisa, pilihan kata serta
ayunan suaranya demikian tepatnya, sehingga sukar orang dapat membantah. Orang
tak sangka bahwa beliau pandai juga berpidato demikian hebatnya, sehingga
sebelum beliau habis berpidato orang dapat menduga, bahwa beliau akan mendapat
kemenangan. Kelihatan dengan nyata pengaruh dari sugesti yang ditimbulkan oleh
pidatonya atas anggota dan publik yang hadlir ditribune.
Sepanjang pengetahuan kami, baru sekali itulah Mohammad Hatta
berpidato demikian hebatnya. Sebelum itu belum pernah dan sesudah itu tak ada
lagi. Juga didalam memberi keterangan yang penting-penting tentang politik
negara, kalau perlu kadang-kadang beliau mengeluarkan kata-kata yang pedas dan
tegas, tetapi sikapnya tetap seperti biasa : kalm dan zakelijk.
Seperti telah diterangkan tadi, kekuatannya yang sebenarnya
tidak terletak pada berbicara, tetapi pada menulis. Analisa yang teratur dengan
logika yang tajam disertai pula dengan keyakinan yang kuat, itulah yang menjadi
sari buah penanya, sehingga karangan-karangannya itu selalu berharga, juga
apabila soal yang dikupasnya itu sudah menjadi sejarah.
Itulah mengapa, maka kami berusaha mengumpulkan
karangan-karangannya yang tersebar itu dan menyatakannya dalam beberapa jilid
buku. (Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan, I, hal. 10-11)
S. Syahrir, pemikir politik yang
kenamaan itu, karangannya sedap dan berisi kedalaman, tapi pidatonya susah
dimengerti tidak menarik.
Cokroaminoto lebih mahir pidato
dari pada mengarang, walaupun beliau seorang pengarang yang baik.
Hamka lebih indah karangannya daripada pidatonya,
walaupun dia seorang chatib yang kenamaan.
K.H. Mansur dan A.R. Sutan Mansur
lebih menyerap dan mendalam pidatonya daripada buah penanya. Kedua ulama besar
ini biasanya mengarang dengan jalan mendiktekan kepada penulis pribadinya atau
muridnya.
Yang seimbang antara lisan dan tulisan, pena dan pidato, ialah Bung Karno, H.
Agus Salim, M. Natsir dan K.H.A. Ghaffar Ismail.
Coba dengarkan pidato Bung Karno dan baca karangannya, sama dan
serupa; penuh api semangat, daya juang. Sebagai seorang orator yang ulung, saya
kira belum ada taranya di Indonesia. Luar Negeri kagum dengan kecakapan Bung
Karno berpidato.
H. Agus Salim, genial Indonesia yang terdahulu lahirnya kedunia
itu, silat penanya sama dengan silat lidahnya, sama-sama mahir, indah, fasahah
dan balaghah.
Mohammad Natsir filosof Islam, lebih tepat memberikan ceramah
dan kuliah dalam rapat chusus dari pada berpidato dalam rapat umum, jangkauan
dan analisanya, baik dalam pidato maupun dalam tulisannya, sama dan serupa,
tajam dan mendalam, penuh isi !
K.H.A. Gaffar Ismail, zaman kolonial dulu pernah mendapat
julukan H. Agus Salim muda, Fashih lidahnya, kaya bahasanya, luas ilmunya. Saya
belum pernah mendengar Muballigh Islam yang dapat memikat para pendengar
seperti Gaffar Ismail. Saya kira ada kelebihannya dari H. Agus Salim.
· H. Agus Salim pidatonya hinggap keotak, menyuruh sipendengar berfikir, memperkaya pengetahuan, memberi pengertian.
· A. Gaffar Ismail pidatonya menuju jiwa, memberikan kesadaran bathin, memperkaya ruh semangat, membawa hadlirin berangkat mendekati Ilahy, Taqarrub ilal Lah.
Berbahagialah suatu masyarakat yang mempunyai pemimpin yang
mahir berpidato dan mahir menulis. Lebih berbahagia lagi orang itu sendiri,
yang berkumpul dalam dirinya kecakapan lisan dan kemahiran tulisan.
Lidah yang mahir serta pena yang lancar serta tangkas dapat
dipergunakan untuk berbakti kepada Agama dan bangsanya, melakukan amar Ma’ruf
dan Nahi munkar, menyebarkan kebenaran.
Saya kira susah dicari dan mahal didapat manusia yang berhimpun
didalam dirinya “dua kekuasaan” (lisan dan tulisan) itu.
H. Agus Salim kedua saya kira tidak akan lahir lagi di Indonesia
: brilian intelek, lautan ilmu, kaya bahasa, cakap berpidato dan mahir menulis.
Bung Karno, sejak zaman kolonial sampai kini memainkan peranan
besar dalam panggung sejarah tanah air. Wibawanya yang besar, lidahnya yang
perkasa dan penanya yang tajam, telah menghimpun massa rakyat dalam satu
nation, bangsa revolusioner.
Dengan lidah dan pena yang bergerak seiring, dengan bahasa dan
suara yang mudah ditangkap rakyat banyak, dengan cara populer dan tidak sukar
difaham, Bung Karno telah dapat memikat dan mengikat massa rakyat yang
tenggelam malah lenyap dalam kata, gema dan irama pena dan pidatonya.
Demikian pandainya beliau berpidato dan menulis, segala
persoalan yang beliau kemukakan, cepat difaham dan ditangkap oleh rakyat
banyak. Istilah-istilah baru yang digali dan diciptakannya sendiri, menjadi
buah mulut rakyat, lekas populer dalam masyarakat.
Saya kira akan sia-sialah orang yang ingin menjadi Bung Karno
kedua.
Shahibud Da’wah, propagandis yang bijak, Muballigh yang piawai,
yalah yang mahir menggunakan lisan dan tulisan. Pena dan pidato, dua alat
kekuasaan dan media Da’wah yang paling memegang peranan dalam setiap tingkat
perkembangan dan kehidupan masyarakat.
Para Juru Da’wah Islam perlu lebih memperhatikan kepentingan
tulisan sebagai media Da’wah.
Sukses terbesar dari Revolusi Indonesia adalah dalam lapangan
pengajaran. Hampir seluruh daerah tanah air kita telah diproklamirkan bebas
dari butahuruf; rakyat kita kini (1964) umumnya telah melek huruf.
Apa artinya melek huruf jika mereka hanya membaca koran atau
harian yang akan membawa mereka kepada “butahati” ?
Buta Agama, buta achlak, buta budi dan hati, merupakan “kern
probleem” dalam kehidupan bangsa kita. Ia menjadi batu penghalang bagi “nation
building” dan character building” kita.
Kebudayaan asing yang datang dari luar, kebudayaan meterialisme
dan peradaban kebendaan, kini tampaknya aktif merebut massa rakyat, meracuni
masyarakat kita yang masih melek huruf supaya buta hati.
Tidak usah dikatakan lagi, bahwa kebudayaan asing yang
materialistis itu tidak sesuai dengan asas dan falsafah Negara kita yang
meletakkan Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasarnya yang pertama dan utama.
Coba perhatikan publikasi luar Islam sekarang menyerbu dan
merebut massa rakyat yang umumnya menurut sesuatu adalah kaum Muslimin.
Suatu ketempangan dan keheranan yang wajib mendapat perhatian
dari karyawan Da’wah yalah, keluarga yang tha’at menjalankan Agama, tapi memasukkan
lektur atau bacaan luar Islam untuk anak dan isterinya.
Dia lebih suka adan rela mengasuh anak dan isterinya, rumah
tangga dan keluarganya dengan bacaan-bacaan yang merugikan keyakinan dan
kepercayaannya.
Juru Da’wah harus memperhatikan ketempangan dan ketidak
seimbangan hidup keruhanian masyarakat kaum Muslimin ini.
Harus ada koordinasi antara lisan dan tulisan, antara pena dan
pidato.
Haru ada kerja sama dan bantu membantu antara pengarang dan ahli
mimbar, antara lidah dan tinta. Masyarakat membutuhkan kedua-duanya. Kuping dan
mata meminta pelayanan yang seimbang.
Publikasi dan ceramah harus ada tali yang mengikat, bekerja
sama, kuat-menguatkan, bantu-membantu.
Bagaimana kita akan membentuk anak-anak kita yang menjadi Muslim
yang baik, tha’at dan patuh kepada agamanya, jikalau mereka kita biarkan
membaca majalah-majalah cabul dan buku-buku komik yang meruntuhkan moral secara
berangsur.
Jikalau para juru Da’wah dan Muballigh disegala tempat membahas
pula kepentingan bacaan, kepentingan publikasi sebagai alat perjuangan Da’wah,
tidak akan ada penerbitan Islam yang megap-megap hidupnya, hidup antara Senin
dan Kamis.
Jikalau kita suka meneliti saksama penerbitan Islam dengan
penerbitan luar Islam, ditanah Islam ini Ummat Islam jauh ketinggalan.
Pengarang-pengarang tua telah mundur seorang demi seorang, ada yang telah wafat
dan ada pula yang telah patah penanya. Pengarang-pengarang muda yang berbakat
dan berwatak sulit berkembangnya, karena mereka tahu karyanya kurang dihargai,
honorarium yang diterima tidak seimbang dengan harga buku yang dibaca untuk
membuat suatu karangan.
Jika ada pengarang idealistis Muslim yang dapat mengumpulkan
dana dari sana sini, mengemis mengharapkan bantuan sisa kenyang dari kaum yang
senang, dan hasilnya dapat menerbitkan majalah bulanan, paling lama majalah itu
terbit hanya setahun penuh, tahun kedua berhenti.
Sudah berapa jumlahnya majallah islam yang mengalami nasib yang
demikian itu.
Minggunan Hikmah di Jakarta, Aliran Islam Bandung, Al Islam
Medan, Daulah Islamiyah Jakarta dan masih banyak lagi yang lain, semuanya gugur
dalam perjuangan. Yang membunuhnya adalah Ummat Islam sendiri, para pembaca
yang tidak mau membayar wang langganannya, dan para agen yang tidak setia
menyetor.
Lihat pula wartawan-wartawan muda Islam yang baik terpaksa
menjadi kuli tinta menjual tenaga pada suratkabar luar Islam, lapangan
pekerjaan lain tidak ada.
Sejak kemerdekaan Indonesia sampai kini (1964) kita belum pernah
mempunyai harian Islam, yang benar-benar menjadi terompet Islam.
Menjelang pemilihan umum yang baru lalu, partai-partai Islam
pernah menerbitkan koran harian, alat kampanye partai, bukan alat Da’wah Islam.
Mimbar partai itu terang tidak dapat kita masukkan kepada kategori harian Islam
yang bulat dan menyeluruh, sebab kepentingan partai tampaknya lebih penting
daripada kepentingan Islam dan kaum Muslimin.
Jika dibandingkan dengan zaman kolonial, dari segi persurat
kabaran, kita sekarang (1964) jauh terbelakang. Zaman kolonial hampir
dikota-kota besar ada majallah Islam.
Di Medan ada mingguan Pedoman Masyarakat dan Panji Islam,
disampingnya ada Pedoman Islam, Al Manaar, dan Medan Islam. Di Solo ada
mingguan Adil dan Islam Raya. Di Bandung ada Pembela Islam, Allisaan dan
Lasykar Islam.
Sewaktu buku ini ditulis (1964) Ummat Islam Indonesia tidak
mempunyai sebuahpun harian Islam dan mingguan Islam.
Apa yang dikemukakan diatas, adalah gambaran tragedi yang kita
baca batang tubuh Ummat Islam Indonesia.
Lembaga-lembaga Da’wah perlu memikirkan terbitnya harian dan
mingguan Islam, yang betul-betul menjadi juru bicara Islam dan Kaum Muslimin
dinegeri ini.
Dengan jalan itu kita meningkatkan kecardasan Ummat Islam, agar
mereka mengerti pergolakan dunia, mengerti arti dan fungsinya didunia,
ditengah-tengah pertemuan antara manusia.
Sadar atas arti dan fungsinya ditengah-tengah pergaulan
internasional berarti dapat mengikuti dan dibawa ikut serta memecahkan
persoalan dunia dan persoalan manusia yang menyeluruh sifatnya itu.
Mengikuti dan mengerti akan perkembangan dunia dan perkembangan
Dunia Islam sendiri, membuka mata dan memberikan kecerahan pandangan, betapa
menyeluruhnya persoalan kemanusiaan sekarang ini; kita dapat melihatnya dari
hubungan yang luas.
Adanya Surat Al Qalam dan perintah membaca (Iqra’) dalam Kitab
suci Al Quran menjelaskan betapa pentingnya arti dan fungsi tulisan dan bacaan
bagi manusia Islam.
Mentarqiyah (meningkatkan) kecerdasan Ummat Islam melalui
tulisan dan bacaan, memperluas penerbitan atau publikasi dengan cara modern,
rapi dan teratur, adalah segi Da’wah yang menuntut perhatian dengan segala
kesungguhan.
Da’wah Islam dalam susunan dunia modern ini lebih mengangkat
minat perhatian terutama dari hartawan Muslimin.
Tulisan dan bacaan adalah media Da’wah yang tidak kurang
vitalnya dari angkatan Mujahidin dan Muballighin yang bergerak dan bertindak
setiap masa kesegala pelosok duknia dan masyarakat manusia; membuka hati
masyarakat, merebut masyarakat dari genggaman dan belenggu faham dan aliran
luar Islam. Menyampaikan suara dan seruan Islam melalui tulisan dan bacaan,
dengan cara rapi dan teratur, itulah salah satu aspek Da’wah Islamiyah yang
kurang mendapat perhatian secara sungguh dan penuh.
Dalam hubungan segala itu perlu dikemukakan satu segi yang tidak
kurang pentingnya untuk meningkatkan kecerdasan dan memperluas pengetahuan
Ummat Islam untuk mengenal dan menemukan kesempurnaan ajaran Islam, ialah
menterjemahkan kedalam bahasa kita buku-buku hasil karya para Ulama, pujangga
dan sarjana Islam masa lalu, menggali peradaban lama milik kita bersama.
Untuk itu perlu diadakan Lajnah Tarjamah yang representatif,
yang bekerjanya secara penuh.
Kita (1964) belum mempunyai Tafsir Al Quran yang luas seperti
Tafsir Al Manaar dari Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla umpamanya.
Tafsir Al Quran dalam bahasa kita yang sudah diterbitkan, saya
rasa belum cukup memperkenalkan Al Kitab itu dalam segala kemaknaan. Pendeknya,
masyarakat Islam dalam segala tingkatannya, keluarga dan rumah tangga kakum
Muslimin harus kita masuki dengan bacaan-bacaan Islam, mengembalikan mereka
kepada Kehidupan Islam.