IV. PENA DAN TINTA

 

Apa yang kita kemukakan diatas, pengaruh peranan lisan dari ahli pidato dalam proses kehidupan dan perkembangan masyarakat, berlaku seluruhnya buat tulisan para pengarang.

Lisan dan tulisan berjalan seiring, pena dan pidato bergerak serempak, bersama-sama.

Malah, tulisan dan jejak pena seorang pengarang, menjadi pelopor dari suatu pemikiran, pandangan dan keyakinan, idea dan cita.

Revolusi-revolusi besar didunia, selalu didahuli oleh jejak pena dari seorang pengarang. Pena pengarang mencetuskan suatu idea dan cita, menjadi bahan pemikiran, pedoman berjuang.

Revolusi Perancis bergerak dibawah cahaya pikiran dan cetusan pandangan yang dirintiskan oleh J.J. Rousseu dan Montesquieu.

Revolusi Amerika dibimbing oleh “Declaration of Independence” (Fatwa Kemerdekaan) yang sampai kini dijadikan pedoman besar oleh bangsa Amerika.

Revolusi Rusia dan perjuangan kaum Komunis diseluruh Indonesia sampai dengan buku ini ditulis (1964) dipimpin oleh “Comunistisch Manifest”, karya Marx dan Engels.

Nazi Jerman bergerak dibawah petunjuk buku Mein Kampf buah tangan pemimpin mereka Hitler.

Revolusi Tiongkok berpedoman kepada San Min Chu I karangan Sun Yat Sen.

Revolusi Indonesia didahului oleh pemikiran-pemikiran revolusioner dari Bung Karno, Hatta, Syahrir dan Tan Malaka.

Pidato pembelaan Bung Karno dimuka pengadilan kolonial di Bandung “Indonesia Menggugat”, brosur revolusioner “Mencapai Indonesia Merdeka” (MIM), pidato pembelaan Bung Hatta dimuka pengadilan Den Haag yang berjudul “Indonesia Vrij” dan buku kecilnya “Kearah Indonesia Merdeka” (KIM), tulisan-tulisan Syahrir dalam “Daulat Rakyat” tentang taktik dan strategi perjuangan, buku-buku Tan Malaka yang diselundupkan dari luar negeri, semua itu telah menjadi aspirasi dan inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan tanah air.

Renaissance alam Islamy, gerakan reformasi dan Modernisasi dalam dunia Islam terutama bersumber kepada buah pena Ibnu Taimiyah, Jamaluddin Al Afghany, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Amir Syakib Arsalan dan Abdurrahman Al Kawakiby.

Pembinaan Negara Islam Pakistan didahului oleh buku-buku Mohammad Iqbal.

Demikianlah buah pena pengarang dan pujangga mendahului kebangkitan bangsa-bangsa didunia, lebih dalam pengaruhnya dari gelombang suara, pengaruh lisan ahli pidato.

Pidato lisan dari seorang orator, sesa’at dapat memikat jutaan massa rakyat, tapi bisa lepas kembali tiada membekas dan menyerap dalam hati.

Itulah sebabnya orator mengulang kembali dan terus menerus secara lestari, keyakinan dan pandangan yang dipropagandakannya kepada masyarakat ramai.

Tulisan atau pena seorang pengarang, cukup berbicara satu kali, melekat terus dalam hati dan menjadi buah tutur setiap hari.

Tidak banyak kita melihat seorang redenar juga menjadi seorang pengarang yang ulung. Sebaliknya, tidak banyak kita melihat pengarang kenamaan juga menjadi orator yang masyhur.

Bung Hatta lebih pandai mengarang, pidatonya “tidak menarik” siorang banyak. Panitya Penyelenggara “KUMPULAN KARANGAN” Hatta mengatakan diantara lain :

Tetapi Mohammad Hatta tidak pandai berpidato. Ayun suaranya tidak bisa memikat hati orang banyak dan kekuatan katanya hanya terletak pada isinya. Isi katanya lebih enak dibaca dari pada didengar. Barangkali inilah sebabnya beliau mencari kekuatannya didalam menuliskan pikirannya.

Sifat yang ganjil ini barangkali tertahan selama asuhannya dari kecil. Suasana keagamaan serta aktivitet ekonomi dalam rumah tangga orang tuanya menjadikan beliau orang yang taat pendiam tidak suka banyak bicara. Hanya jabatannya kemudian sebagai pemimpin rakyat dan pemimpin negara memaksa beliau harus banyak berpidato. Tetapi meskipun demikian, beliau tidak pernah menjadi seorang orator. Kekuatannya tidak terletak dalam menghadapi rapat umum, melainkan rapat chusus dengan pemimpin dan pemuka, dimana beliau dapat mengupas dan menguraikan rupa-rupa masalah negara dan masyarakat secara logis dan analistis. Cara beliau berbicara biasanya tenang.

Akan tetapi jika mengenai so’al yang prinsipil sekali, beliau bisa juga berpidato yang berapi-api dengan ayun suara dan pilihan kata-kata yang tangkas. Umpamanya saja pidatonya yang bersejarah dalam sidang Komite Nasional Pusat di Malang pada tahun 1947, waktu membela Penetapan Presiden No. 6, sangat mengagumkan semua yang hadlir. Logika, analisa, pilihan kata serta ayunan suaranya demikian tepatnya, sehingga sukar orang dapat membantah. Orang tak sangka bahwa beliau pandai juga berpidato demikian hebatnya, sehingga sebelum beliau habis berpidato orang dapat menduga, bahwa beliau akan mendapat kemenangan. Kelihatan dengan nyata pengaruh dari sugesti yang ditimbulkan oleh pidatonya atas anggota dan publik yang hadlir ditribune.

Sepanjang pengetahuan kami, baru sekali itulah Mohammad Hatta berpidato demikian hebatnya. Sebelum itu belum pernah dan sesudah itu tak ada lagi. Juga didalam memberi keterangan yang penting-penting tentang politik negara, kalau perlu kadang-kadang beliau mengeluarkan kata-kata yang pedas dan tegas, tetapi sikapnya tetap seperti biasa : kalm dan zakelijk.

Seperti telah diterangkan tadi, kekuatannya yang sebenarnya tidak terletak pada berbicara, tetapi pada menulis. Analisa yang teratur dengan logika yang tajam disertai pula dengan keyakinan yang kuat, itulah yang menjadi sari buah penanya, sehingga karangan-karangannya itu selalu berharga, juga apabila soal yang dikupasnya itu sudah menjadi sejarah.

Itulah mengapa, maka kami berusaha mengumpulkan karangan-karangannya yang tersebar itu dan menyatakannya dalam beberapa jilid buku. (Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan, I, hal. 10-11)

S. Syahrir, pemikir politik yang kenamaan itu, karangannya sedap dan berisi kedalaman, tapi pidatonya susah dimengerti tidak menarik.

Cokroaminoto lebih mahir pidato dari pada mengarang, walaupun beliau seorang pengarang yang baik.

Hamka lebih indah karangannya daripada pidatonya, walaupun dia seorang chatib yang kenamaan.

K.H. Mansur dan A.R. Sutan Mansur lebih menyerap dan mendalam pidatonya daripada buah penanya. Kedua ulama besar ini biasanya mengarang dengan jalan mendiktekan kepada penulis pribadinya atau muridnya.

Yang seimbang antara lisan dan tulisan, pena dan pidato, ialah Bung Karno, H. Agus Salim, M. Natsir dan K.H.A. Ghaffar Ismail.

Coba dengarkan pidato Bung Karno dan baca karangannya, sama dan serupa; penuh api semangat, daya juang. Sebagai seorang orator yang ulung, saya kira belum ada taranya di Indonesia. Luar Negeri kagum dengan kecakapan Bung Karno berpidato.

H. Agus Salim, genial Indonesia yang terdahulu lahirnya kedunia itu, silat penanya sama dengan silat lidahnya, sama-sama mahir, indah, fasahah dan balaghah.

Mohammad Natsir filosof Islam, lebih tepat memberikan ceramah dan kuliah dalam rapat chusus dari pada berpidato dalam rapat umum, jangkauan dan analisanya, baik dalam pidato maupun dalam tulisannya, sama dan serupa, tajam dan mendalam, penuh isi !

K.H.A. Gaffar Ismail, zaman kolonial dulu pernah mendapat julukan H. Agus Salim muda, Fashih lidahnya, kaya bahasanya, luas ilmunya. Saya belum pernah mendengar Muballigh Islam yang dapat memikat para pendengar seperti Gaffar Ismail. Saya kira ada kelebihannya dari H. Agus Salim.

·         H. Agus Salim pidatonya hinggap keotak, menyuruh sipendengar berfikir, memperkaya pengetahuan, memberi pengertian.

·         A. Gaffar Ismail pidatonya menuju jiwa, memberikan kesadaran bathin, memperkaya ruh semangat, membawa hadlirin berangkat mendekati Ilahy, Taqarrub ilal Lah.

Berbahagialah suatu masyarakat yang mempunyai pemimpin yang mahir berpidato dan mahir menulis. Lebih berbahagia lagi orang itu sendiri, yang berkumpul dalam dirinya kecakapan lisan dan kemahiran tulisan.

Lidah yang mahir serta pena yang lancar serta tangkas dapat dipergunakan untuk berbakti kepada Agama dan bangsanya, melakukan amar Ma’ruf dan Nahi munkar, menyebarkan kebenaran.

Saya kira susah dicari dan mahal didapat manusia yang berhimpun didalam dirinya “dua kekuasaan” (lisan dan tulisan) itu.

H. Agus Salim kedua saya kira tidak akan lahir lagi di Indonesia : brilian intelek, lautan ilmu, kaya bahasa, cakap berpidato dan mahir menulis.

Bung Karno, sejak zaman kolonial sampai kini memainkan peranan besar dalam panggung sejarah tanah air. Wibawanya yang besar, lidahnya yang perkasa dan penanya yang tajam, telah menghimpun massa rakyat dalam satu nation, bangsa revolusioner.

Dengan lidah dan pena yang bergerak seiring, dengan bahasa dan suara yang mudah ditangkap rakyat banyak, dengan cara populer dan tidak sukar difaham, Bung Karno telah dapat memikat dan mengikat massa rakyat yang tenggelam malah lenyap dalam kata, gema dan irama pena dan pidatonya.

Demikian pandainya beliau berpidato dan menulis, segala persoalan yang beliau kemukakan, cepat difaham dan ditangkap oleh rakyat banyak. Istilah-istilah baru yang digali dan diciptakannya sendiri, menjadi buah mulut rakyat, lekas populer dalam masyarakat.

Saya kira akan sia-sialah orang yang ingin menjadi Bung Karno kedua.

Shahibud Da’wah, propagandis yang bijak, Muballigh yang piawai, yalah yang mahir menggunakan lisan dan tulisan. Pena dan pidato, dua alat kekuasaan dan media Da’wah yang paling memegang peranan dalam setiap tingkat perkembangan dan kehidupan masyarakat.

Para Juru Da’wah Islam perlu lebih memperhatikan kepentingan tulisan sebagai media Da’wah.

Sukses terbesar dari Revolusi Indonesia adalah dalam lapangan pengajaran. Hampir seluruh daerah tanah air kita telah diproklamirkan bebas dari butahuruf; rakyat kita kini (1964) umumnya telah melek huruf.

Apa artinya melek huruf jika mereka hanya membaca koran atau harian yang akan membawa mereka kepada “butahati” ?

Buta Agama, buta achlak, buta budi dan hati, merupakan “kern probleem” dalam kehidupan bangsa kita. Ia menjadi batu penghalang bagi “nation building” dan character building” kita.

Kebudayaan asing yang datang dari luar, kebudayaan meterialisme dan peradaban kebendaan, kini tampaknya aktif merebut massa rakyat, meracuni masyarakat kita yang masih melek huruf supaya buta hati.

Tidak usah dikatakan lagi, bahwa kebudayaan asing yang materialistis itu tidak sesuai dengan asas dan falsafah Negara kita yang meletakkan Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasarnya yang pertama dan utama.

Coba perhatikan publikasi luar Islam sekarang menyerbu dan merebut massa rakyat yang umumnya menurut sesuatu adalah kaum Muslimin.

Suatu ketempangan dan keheranan yang wajib mendapat perhatian dari karyawan Da’wah yalah, keluarga yang tha’at menjalankan Agama, tapi memasukkan lektur atau bacaan luar Islam untuk anak dan isterinya.

Dia lebih suka adan rela mengasuh anak dan isterinya, rumah tangga dan keluarganya dengan bacaan-bacaan yang merugikan keyakinan dan kepercayaannya.

Juru Da’wah harus memperhatikan ketempangan dan ketidak seimbangan hidup keruhanian masyarakat kaum Muslimin ini.

Harus ada koordinasi antara lisan dan tulisan, antara pena dan pidato.

Haru ada kerja sama dan bantu membantu antara pengarang dan ahli mimbar, antara lidah dan tinta. Masyarakat membutuhkan kedua-duanya. Kuping dan mata meminta pelayanan yang seimbang.

Publikasi dan ceramah harus ada tali yang mengikat, bekerja sama, kuat-menguatkan, bantu-membantu.

Bagaimana kita akan membentuk anak-anak kita yang menjadi Muslim yang baik, tha’at dan patuh kepada agamanya, jikalau mereka kita biarkan membaca majalah-majalah cabul dan buku-buku komik yang meruntuhkan moral secara berangsur.

Jikalau para juru Da’wah dan Muballigh disegala tempat membahas pula kepentingan bacaan, kepentingan publikasi sebagai alat perjuangan Da’wah, tidak akan ada penerbitan Islam yang megap-megap hidupnya, hidup antara Senin dan Kamis.

Jikalau kita suka meneliti saksama penerbitan Islam dengan penerbitan luar Islam, ditanah Islam ini Ummat Islam jauh ketinggalan. Pengarang-pengarang tua telah mundur seorang demi seorang, ada yang telah wafat dan ada pula yang telah patah penanya. Pengarang-pengarang muda yang berbakat dan berwatak sulit berkembangnya, karena mereka tahu karyanya kurang dihargai, honorarium yang diterima tidak seimbang dengan harga buku yang dibaca untuk membuat suatu karangan.

Jika ada pengarang idealistis Muslim yang dapat mengumpulkan dana dari sana sini, mengemis mengharapkan bantuan sisa kenyang dari kaum yang senang, dan hasilnya dapat menerbitkan majalah bulanan, paling lama majalah itu terbit hanya setahun penuh, tahun kedua berhenti.

Sudah berapa jumlahnya majallah islam yang mengalami nasib yang demikian itu.

Minggunan Hikmah di Jakarta, Aliran Islam Bandung, Al Islam Medan, Daulah Islamiyah Jakarta dan masih banyak lagi yang lain, semuanya gugur dalam perjuangan. Yang membunuhnya adalah Ummat Islam sendiri, para pembaca yang tidak mau membayar wang langganannya, dan para agen yang tidak setia menyetor.

Lihat pula wartawan-wartawan muda Islam yang baik terpaksa menjadi kuli tinta menjual tenaga pada suratkabar luar Islam, lapangan pekerjaan lain tidak ada.

Sejak kemerdekaan Indonesia sampai kini (1964) kita belum pernah mempunyai harian Islam, yang benar-benar menjadi terompet Islam.

Menjelang pemilihan umum yang baru lalu, partai-partai Islam pernah menerbitkan koran harian, alat kampanye partai, bukan alat Da’wah Islam. Mimbar partai itu terang tidak dapat kita masukkan kepada kategori harian Islam yang bulat dan menyeluruh, sebab kepentingan partai tampaknya lebih penting daripada kepentingan Islam dan kaum Muslimin.

Jika dibandingkan dengan zaman kolonial, dari segi persurat kabaran, kita sekarang (1964) jauh terbelakang. Zaman kolonial hampir dikota-kota besar ada majallah Islam.

Di Medan ada mingguan Pedoman Masyarakat dan Panji Islam, disampingnya ada Pedoman Islam, Al Manaar, dan Medan Islam. Di Solo ada mingguan Adil dan Islam Raya. Di Bandung ada Pembela Islam, Allisaan dan Lasykar Islam.

Sewaktu buku ini ditulis (1964) Ummat Islam Indonesia tidak mempunyai sebuahpun harian Islam dan mingguan Islam.

Apa yang dikemukakan diatas, adalah gambaran tragedi yang kita baca batang tubuh Ummat Islam Indonesia.

Lembaga-lembaga Da’wah perlu memikirkan terbitnya harian dan mingguan Islam, yang betul-betul menjadi juru bicara Islam dan Kaum Muslimin dinegeri ini.

Dengan jalan itu kita meningkatkan kecardasan Ummat Islam, agar mereka mengerti pergolakan dunia, mengerti arti dan fungsinya didunia, ditengah-tengah pertemuan antara manusia.

Sadar atas arti dan fungsinya ditengah-tengah pergaulan internasional berarti dapat mengikuti dan dibawa ikut serta memecahkan persoalan dunia dan persoalan manusia yang menyeluruh sifatnya itu.

Mengikuti dan mengerti akan perkembangan dunia dan perkembangan Dunia Islam sendiri, membuka mata dan memberikan kecerahan pandangan, betapa menyeluruhnya persoalan kemanusiaan sekarang ini; kita dapat melihatnya dari hubungan yang luas.

Adanya Surat Al Qalam dan perintah membaca (Iqra’) dalam Kitab suci Al Quran menjelaskan betapa pentingnya arti dan fungsi tulisan dan bacaan bagi manusia Islam.

Mentarqiyah (meningkatkan) kecerdasan Ummat Islam melalui tulisan dan bacaan, memperluas penerbitan atau publikasi dengan cara modern, rapi dan teratur, adalah segi Da’wah yang menuntut perhatian dengan segala kesungguhan.

Da’wah Islam dalam susunan dunia modern ini lebih mengangkat minat perhatian terutama dari hartawan Muslimin.

Tulisan dan bacaan adalah media Da’wah yang tidak kurang vitalnya dari angkatan Mujahidin dan Muballighin yang bergerak dan bertindak setiap masa kesegala pelosok duknia dan masyarakat manusia; membuka hati masyarakat, merebut masyarakat dari genggaman dan belenggu faham dan aliran luar Islam. Menyampaikan suara dan seruan Islam melalui tulisan dan bacaan, dengan cara rapi dan teratur, itulah salah satu aspek Da’wah Islamiyah yang kurang mendapat perhatian secara sungguh dan penuh.

Dalam hubungan segala itu perlu dikemukakan satu segi yang tidak kurang pentingnya untuk meningkatkan kecerdasan dan memperluas pengetahuan Ummat Islam untuk mengenal dan menemukan kesempurnaan ajaran Islam, ialah menterjemahkan kedalam bahasa kita buku-buku hasil karya para Ulama, pujangga dan sarjana Islam masa lalu, menggali peradaban lama milik kita bersama.

Untuk itu perlu diadakan Lajnah Tarjamah yang representatif, yang bekerjanya secara penuh.

Kita (1964) belum mempunyai Tafsir Al Quran yang luas seperti Tafsir Al Manaar dari Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla umpamanya.

Tafsir Al Quran dalam bahasa kita yang sudah diterbitkan, saya rasa belum cukup memperkenalkan Al Kitab itu dalam segala kemaknaan. Pendeknya, masyarakat Islam dalam segala tingkatannya, keluarga dan rumah tangga kakum Muslimin harus kita masuki dengan bacaan-bacaan Islam, mengembalikan mereka kepada Kehidupan Islam.