V. KARENA CITA DAN CINTA

 

Da’wah atau Tabligh adalah sifat Nubuwwah, sunnah kehidupan dan perjalanan Rasulullah.

Segala Nabi sebelum Muhammad, dalam menjalankan tugas bertolak dari kegiatan Da’wah atau Tabligh itu.

Ber-Da’wah atau ber-Tabligh, menyampaikan seruan dan suara Islam, adalah Jihad, perjuangan.

Menjadi Juru Da’wah, menjadi Muballigh dengan sendirinya menjadi Mujahid, menjadi pejuang dalam segala kata dan makna.

Konsekwensi sebagai pejuang adalah berkurban, apa saja yang diminta oleh perjuangan.

Perjuangan adalah menjalankan tugas, tugas yang dibebankan oleh keyakinan, risalah yang diletakkan oleh Iman dan Agama.

Juru Da’wah atau Muballigh adalah pendukung Cita karena Cinta, pembela idealisme dalam segala arti dan isi.

‘Aqidah Islamiyah yang kita jadikan pegangan hidup, kita serukan kepada manusia, kita bela dengan segala cara, kita perjuangkan dengan segala kepenuhan hati dan kesungguhan budi, tidak pernah menjanjikan kesenangan dunia kepada kita.

Kepada seorang Muballigh muda yang berkunjung kerumahnya, pernah Syech Ahmad Soorkati Al Anshary berkata dengan suara lembut :

Jalan yang engkau pilih waladi, adalah jalan kefakiran dan kepapaan...., tapi agung, karena itulah jalan yang pernah ditempuh oleh para Anbiya’ dan Mursalin.

Memang, antara perjuangan dan kesenangan hidup tak pernah ada titik-pertemuan. Tujuan hidup seorang Muslim, idealisme seorang Mujahid yalah menyerahkan dirinya tanpa syarat untuk kejayaan cita, keagungan kalimah Ilahy.

Berhadapan dengan Cinta dan Cita ini fana dan lenyaplah dirinya Tiada perhitungan laba atau rugi, pecah atau binasa, hidup atau mati.

Seorang Mujahid hanya mengenal satu kalimat, ialah Tugas.

Tak ada upah atau balasan yang dapat dan boleh diharapkannya dari manusia.

Aku tidak minta upah-balasan dari kamu atas ajakan itu. Upah balasan untukku tidak lain hanya dari Allah seru sekalian alam (QS. Assyu’araa:180)

Begitulah ucapan Nabi Nuh, Hud, Shalih, Luth dan Syu’aib kepada kaumnya.

Menemui tugas Ilahy, itulah hanya isi kegiatan seorang Muballigh, dan disitulah terletak sa’adah, bahagia hidupnya.

LAQAD ABLAGHTU KUM RISAALATA RABBY !

Telah kusampaikan kepadamu Risalah Tuhanku (QS. Al-A’raf :93)

Itulah hanya kalimat dan semangat yang dibawanya menghadapi manusia ramai.

Majunya kemuka bukan karena pujian dan sanjungan, karena segala pujian adalah milik Tuhannya. Dia sadar, puji dan puja yang diberikan kepadanya berisi racun-berbisa yang dapat merusakkan dirinya.

Dia tidak mundur karena celaan dan makian, ancaman ketakutan, karena dia lebih takut kepada ancaman Tuhannya.

Dera dan derita tidak mungkin menyurutkan dan mengurangkan kegiatannya, karena baginya segala penderitaan malah kepapaan sekalipun adalah senandung hidup bagi seorang idealis.

Dia sadar, keyakinan yang dianutnya dan perjuangan yang dihadapinya membawa daftar rentetan penderitaan, kesengsaraan, pengusiran dan pengasingan.

Hempasan badai dan amukan taufan, kekurangan dana dan tenaga. Itu yang dijanjikan oleh keyakinan dan perjuangan.

Laut luas perjuangan jarang menjanjikan udara cerah, senang dan tenang. Sehesta laut, sejengkal laut, laut sakit rantau bertuah, baginya cukup menjadi isyarat apa risiko yang harus diterimanya dalam mengarungi samudera perjuangan itu.

Dengan biduk upih pengaluh bilah diharunginya keluasan laut yang entah dimana tepinya itu. Tempo-tempo ia berpirau menentang arus. Jika biduknya pecah atau binasa karena pukulan badai, dia mampu pula berenang, karena kemahiran berenang telah dimilikinya pula.

Saudara ! Keyakinan dan perjuangan menuntut ketabahan, keuletan dan kegigihan. Jalan perjuangan sangatlah panjangnya, rantau terlalu jauh.

Kaki telah penat berjalan, tulang menjadi lemah, rantau tujuan terasa tambah jauh dan sayup.

Perjuangan tidak mengenal tempat perhentian, sifatnya terus menerus, sambung bersambung, dari angkatan yang satu keangkatan yang lain.

Bagi seorang pejuang, tempat perhentian adalah diatas pekuburan yang suci serta sepi.

Si Juru Da’wah, Muballigh atau Mujahid, telah meletakkan pilihan ini, karena dorongan Iman dan keyakinan.

Ruhut Tauhid dan Ruhul Jihad !

Tidak ada inspirasi dan aspirasi lain yang mendorongnya dan menyuruhnya maju kegelanggang perjuangan, selain dari perintah Tauhid dan doktrin jihad yang diterimanya dari Tuhan melalui Nabinya yang Ummi, Muhammad Shahibur Risalah.

Menjadi Juru Da’wah, Muballigh atau Mujahid meneruskan perjuangan para Nabi dan Rasul, perjuangan para pahlawan Tauhid angkatan sebelum kita.

Ia bukanlah jalan yang akan mengantar kita kepada kesenangan hidup dan kemewahan dunia, tapi malah sangsaro badan yang akan menjadi nasib, bahagian diri sebagai tunangan dari keyakinan dan perjuangan.

Pekerjaan yang suci ini adalah agung, tapi penuh dengan duri dan derita.

Masyarakat sangat memerlukan tenaga si Juru Da’wah, Muballigh atau Mujahid. Kegiatan dan perkembangan Agama terletak ditangannya, tapi masyarakat itu sendiri tidak hirau, jarang memperhatikan nasibnya secara penuh dan sungguh.

Tempo-tempo dapurnya tidak berasap, anaknya tidak berbaju, isterinya tidak berkain lagi.

Dalam masyarakat dia didahulukan selangkah, tapi dalam rumah tangga si Juru Da’wah dilamun ombak perasaian.

Dimuka ramai katanya didengar, fatwa dan chutbahnya memancarkan kesegaran dan cahaya lembut. Da’wahnya memberikan kekuatan dan harapan, pidatonya malah menggoncangkan dada bumi, tetapi setelah pulang kerumah tempat beras telah kosong, wang tak ada. Tetangga tak hirau, masyarakat tak peduli.

Datang hari baik bulan baik, anak orang lain telah melonjak-lonjak karena sudah punya baju baru, jiran sekeliling telah sibuk menanti hari raya, anak sendiri menangis karena belum juga dibelikan pakaian baru seperti orang lain, isteri sudah tak berkain, wang tak punya.

Tetangga tak hirau, masyarakat tak peduli.

Telah hampir habis pula bahan yang hendak dichutbahkan, perlu menambah ilmu membaca buku; wang pembeli buku tak ada, akan minta kepada orang lain awak malu.

Teman tak hirau masyarakat tak peduli.

Masih banyak contoh yang dapat diberikan tentang nasib si Juru Da’wah.

Yang dilukiskan diatas hanyalah sebagian kecil, mungkin persoalan kecil, tapi dalam maknanya bagi manusia yang tenggelam dalam Cita dan Cinta, situkah Da’wah.

Nasib yang seperti itu masih umum dirasakan oleh para Juru Da’wah, Muballigh dan Mujahid dinegeri yang sudah merdeka ini.

Memang, hidup seorang Juru Da’wah, Muballigh dan Mujahid, menemui seribu satu persoalan dalam menjalankan tugas; pahit dan sulit.

Jalan panjang ini bukanlah jalan lurus dan rata, tapi banyak kelok dan likunya. Mendaki bukit dan gunung tinggi, menuruni lurah dalam dan curam.

Dipuncak bukit dia mendapat angin, berhenti sesa’at, badan segar kembali. Turun kebawah tempo-tempo bertemu air jernih dalam lembah dan serasah terjun, lepas dahaga buat sementara; tempo-tempo bertemu batu kering dan kerikil tajam, keras dan runcing.

Tenaga badan telah terasa lemah, tapi tenaga Iman bertambah kuat, tegap dan segar.

Beban Da’wah dipikul terus, perjalanan dilanjutkan.

Tugas dijalankan, tak ada orang lain yang dapat mengganti.

Bukit tinggi boleh didaki, lurah dalam berkala-kala,

Penat kaki boleh berhenti, beban berat siapa membawa.

Dengan tenaga yang masih ada, perjalanan diteruskan, kemuka dan kemuka lagi.

Panas terik membakar, dahaga menyerang, air minum tak ada. Kafilah itu berjalan terus mencari letak bumi yang ada manusia untuk menyampaikan seruan Wahyu. Ditengah jalan kakinya tertarung batu tajam, darah memancar !

Dia tidak mengeluh, malah hatinya gembira, karena darah kotor telah keluar dan perjalanan selanjutnya dapat diteruskan dengan darah yang bersih.

Itu dan begitu jiwa jihad yang melekat dan menguasai diri seorang Juru Da’wah seorang Muballigh dan Mujahid.

Entah tinggal berapa tahun lagi jatah umur yang masih ada, untuk menjalankan tugas.....

Dia tak tahu.

Bahagia dirinya terletak pada menjalankan tugas, dalam memenuhi risalah, Risalah Tuhannya.

Bala dan bencana, duri dan derita, kesengsaraan dan kepapaan, pengasingan dan pengusiran, segala itu adalah senandung hidup bagi seorang Mujahid pengikut Nabi.

Bukankah dia adalah ahliwaris yang sah dari para Nabi dan Rasul ?

Para Nabi dan Rasul tidak pernah mewariskan kesenangan dan kemewahan hidup. Tapi mewariskan maha kesulitan, penderitaan dan kepapaan dalam menegakkan Cinta dan Cita.

Saudara ! Laut lepas perjuangan yang tidak bertepi ini, senantiasa bersenandung dengan amukan ombak, angin taufan dan hempasan badai.

Suka dan duka, sakit dan senang, datang silih berganti.

Senyuman dan air mata membimbing kehidupan ketempat yang jauh letaknya.

Keyakinan dan penderitaan mendapat ujian, pukulan percobaan.

Segala penderitaan, nasib malang yang menimpa, itu semuanya menambah Iman dan menukuk kekuatan jiwa, ketenangan bathin.

Hidup telah dikendalikan oleh Cinta, cinta kepada Allah dan cinta berjuang pada jalanNya, adalah hidup yang penuh isi dan arti.

Penderitaan dan kesengsaraan tidak melumpuhkan tenaganya, ancaman ketakutan tidak mengundurkan langkahnya, goda dan pesona dunia tidak berkuasa menyuruh dia berhenti melakukan tugas suci yang langsung diterimanya dari Tuhannya.

Bukan pujian dan penghargaan manusia yang diharapkannya, tapi keridlaan Tuhan jua hanya yang dicarinya.

Dia tidak mungkin terpesona oleh kedudukan tinggi, hidup mentereng seperti orang lain.

Nabinya telah memberikan teladan, bagaimana caranya mendukung cita, tidak perlu dia mencari teladan ketempat lain.

Nabinya telah memberikan pimpinan dan pedoman, tidak perlu lagi mencari pimpinan dan pedoman ketempat lain.

Sejak semula Nabi yang besar itu telah memfatwakan bagaimana dan apa risiko yang harus diterima oleh seorang pejuang Islam, seorang Mujahid.

Nabi yang besar itu tidak hanya berfatwa dengan lisannya, tetapi telah berfatwa dengan amal perbuatannya, dengan sunah perjalanannya.

Nabi yang besar itu telah menebus Cita dan Cinta itu dengan penderitaan, menempuh ombak badainya kesengsaraan dan ujian percobaan.

Hidayah Ilahy dan Sunnah Nabi telah tammat sempurna menuntun hidup, pedoman dan petunjuk jalan.

Cita dan Cinta ini yang telah membentuk hidup dan menetapkan haluan kehidupan seorang Juru Da’wah, seorang Muballigh dan Mujahid.

Cita dan Cinta diluar itu, haram tak ada.

Dia memantangkan dirinya untuk menempuh jalan yang bukan jalan suci ini.

Dia mengharamkan dirinya untuk mengambil teladan yang bukan teladan yang diberikan Nabinya.

Dia telah menggunakan umurnya, memenuhkan hidupnya, dengan usaha dan amal, darmabakti kepada Ilahy.

Umur muda telah dipakainya untuk merampungkan tugas suci, walaupun tak ada dana pensiun baginya kelak setelah tua yang menantinya.

Itulah pribadi Juru Da’wah.

Itulah pribadi seorang Muballigh.

Itulah pribadi seorang Mujahid, seorang pejuang !

Hidup yang penuh isi dan arti dengan Cita dan Cinta.

Cita perjuangan dan Cinta perjuangan.