Indonesia pernah meringkuk dalam belenggu imperialisme asing :
kolonialisme Nasrani selama 3 ½ abad dan Fascisme-Majusi selama 3 ½ tahun.
Ciri imperialisme-Nasrani selama itu bukan saja merupakan
dominasi politik, exploitasi ekonomi dan penetrasi kebudayaan, tapi meletakkan
tujuan yang paling achir : likwidasi agama.
Dengan kekuatan tiga leter M : Mercenary, Missionary, Military
imperialisme Belanda (Nasrani) menegakkan kekuasaannya di Indonesia dalam waktu
yang lama, 350 tahun.
Kekayaan tanah air kita dihisapnya, kebudayaan kita diracuninya,
agama kita ditindasnya.
Dengan kekuatan Militer Indonesia dirampasnya dari nenek moyang
kita.
Misi dan zending dibantunya dengan kekuatan politik dan keuangan
yang dirampasnya dinegeri kita.
Program jangka panjang ditangan kaum imperialis yalah hendak
meng-Keristenkan bangsa Indonesia seluruhnya, hendak melikwidir agama Islam
dari muka bumi Indonesia.
Demikian juga halnya dengan imperialisme Barat lainnya diseluruh
Afro-Asia. Begitu Inggeris, Perancis, Amerika dan sebagainya.
Imperialisme internasional itu bekerjasama menaklukkan
bangsa-bangsa Afro-Asia, merampas rezeki dan kehormatan bangsa yang dijajahnya,
dan menukar agama anak negeri dengan agama yang dibawanya, ialah agama Nasrani.
Herankah orang jikalau perlawanan yang pertama-tama sekali
terhadap imperialisme itu adalah dipelopori oleh pahlawan Islam ?
Perang Diponegoro, Perang Padri di Minangkabau dibawah pimpinan
Imam Bonjol, Perang Aceh dengan Tengku Umarnya, Sulthan Babullah di Ternate dan
lain-lain, semua itu digerakkan dan dipimpin langsung oleh pahlawan-pahlawan
Islam yang gagah berani.
Yang menjadi aspirasi dan inspirasi dari para pahlawan Islam itu
bukan saja karena mengetahui rencana jangka panjang dari kaum imperialis yang
hendak melikwidir Agama Islam, akan tetapi karena hakekat ajaran Islam pada
dasarnya adalah anti imperialisme dan kolonialisme, anti penghisapan dan
perbudakan.
Memang, formil perlawanan dan perang kemerdekaan yang digerakkan
oleh para pahlawan-pahlawan Islam gagal berhasil, karena mereka berhadapan
dengan organisasi dan technik yang lebih modern dari kaum penjajah, akan tetapi
moril perjuangannya sampai kepada revolusi Agustus 1945, dimana kaum imperialis
terpaksa meninggalkan pantai dan lautan kita.
Tahukah Saudara, apa fungsi si Tukang Da’wah melawan penjajah ?
Mengertikah Andika, apa perjuangan Muballigh diatas mimbar menentang
imperialisme dan kolonialisme ? Fahamkah anda, apa peranan pejuang mimbar
dizaman jajahan ? Dan betapa sempitnya jalan untuk mengembangkan kegiatan ?
Patah dan kalahnya Perang Diponegoro, Perang Padri, Perang Aceh
dan Perang Ternate, sama sekali tidak berarti perjuangan dan perlawanan
berhenti.
Dari perjuangan senjata berkuah darah, pindah keperjuangan lisan
melalui Da’wah.
Mesjid telah menjadi kubu-pertahanan.
Dari Mesjid si Juru Da’wah menyusun perlawanan, membangun
semangat dan jiwa jihad.
Melalui chutbah setiap Jum’at, melalui pengajian setiap subuh,
melalui Tabligh setiap pekan, situkang Da’wah melancarkan perlawanan yang tidak
terpatahkan dan tidak terkalahkan.
Apa juga masalah yang dibahasnya, masalah ‘Aqidah dan ‘Ibadah,
masalah Mu’amalah dan Masyarakah, Achlak dan sebagainya, semuanya langsung
menembus dada imperialisme dan kolonialisme.
Ranjau delik, fasal 153 bis dan ter, passenstelsel dan
exorbitanterchten, segala itu tidak berkuasa menutup mulut Muballigh dan
Mujahid Islam.
Kaum kolonial mengeluarkan undang-undang vergader-verbod,
tapi sekali sepekan setiap Jum’ah di Mesjid dan Mushala kaum Muslimin
mengadakan rapat umum.
Kaum kolonial mengadakan undang-undang Openlucht vergadering
(rapat dibawah langit), tapi dua kali dalam setahun (‘Idulfitri dan ‘Idul Adha)
Ummat Islam mengadakan rapat raksasa ditanah lapang, tepat si Juru Da’wah
memberi bekal perjuangan kepada Ummat Islam untuk masa setahun.
Setengah mati kaum penjajah mengurung Ummat Islam agar jangan
berhubungan dengan kaum Muslimin diluar tanah airnya, tapi sekali dalam setahun
seruan Ibrahim menunaikan Rukun Islam yang kelima, telah memberi peluang dan ruang
untuk membina cita Pan Islamisme yang sangat ditakuti itu.
Jalan
sempit yang sulit yang dibuatkan penjajah untuk melumpuhkan Da’wah samasekali
tidak berdaya mematahkan kegiatan berjuang.
Kemana Muballigh pergi, kesana spion
kolonial mengikutinya, mengintipnya.
Tapi dalam segala kesempatan itu selalu
terbuka kesempatan.
Wahyu selalu memberi jalan untuk
lalu.
3 ½ abad imperialisme Nasrani di
Indonesia berusaha, menggunakan tiga M : Mercenary, Missionary, Military (Laba,
Gereja, dan Tentara) untuk melikwidir Agama Islam dinegeri ini, namun tujuan terachir
itu tak pernah dicapainya.
Malah justru yang mengusirnya dari
sini dan pergi tanpa pamitan dengan kita, tanpa mempertanggungjawabkan atas
segala dosa yang telah dibuatnya selama itu, yalah ruhul jihad dari 60 juta kaum Muslimin Indonesia.
Belanda-Nasrani pulang,
fascisme-Majusi datang.
Kejamnya lebih dari imperialisme
Nasrani.
Dia memerintah dengan bayonet dan
Osamu Seirei, dengan perkosa dan kekerasan tak ada taranya.
Segala organisasi Islam yang
dibangunkan dizaman kolonial dilumpuhkan.
Kiblat ummat Islam hendak digantinya,
melalui doktrin Seikerei ruku’ kearah Tokyo sambil memusatkan hati kepada Tenno
Heika keturunan Dewata yang katanya turun dari kahyangan untuk kemakmuran
manusia dalam lingkungan Asia Raya.
Tahukah Saudara, bahwa semakin kejam kezaliman
dan penindasan yang dilakukan oleh Dai Nippon Teikoku, semakin tajam pula
pandangan perjuangan ummat Islam menentang dia ?
Kezaliman fascisme-Majusi Jepang
terhadap Ummat Islam telah menolong tugas si tukang Da’wah berbicara kepada Ummat Islam bahwa Saudara Tua wajib dikembalikan kenegerinya.
Belum pernah Ummat Islam Indonesia
merasakan tajamnya ‘Aqidah Islamiyah dan mekarnya Uchuwah Islamiyah, seperti
dizaman Jepang.
Formil tak ada organisasi yang
mengatur perjuangan, tapi ikatan jiwa dan persatuan bathin, terasa dimana-mana.
Tenang tampaknya dipermukaan air,
tapi mahadahsyat bergolakan menentang kezaliman dan penindasan.
Sewaktu penulis buku ini ditahan
dizaman Jepang, dan kamarnya berdekatan dengan kamar K.H. Zainal Mustafa yang
berontak melawan Jepang, saya bertanya kepada Ajengan Singaparna (Tasikmalaya)
itu : “Kenapa
Kiayi berani melawan Jepang ?”
Dia menjawab dengan pertanyaan lagi :
“Bukankah
Jepang itu Majusi ?”
Akhirnya K.H. Mustafa itu menemui
syahidnya, dan saya Alhamdulillah dengan bantuan beberapa teman di Jakarta
dibebaskan, setelah menahankan siksaan dan pukulan dari Kenpei Tai.
Ribuan Muballigh dan Mujahid Islam
yang dimasukkan dalam penjara dan kamp-kamp tahanan fascisme Majusi Jepang.
Disiksa, didera dibanting oleh Jepang yang memperlakukan mereka seperti bibi
Sarinah mencuci kain sarung.
Segala itu tidak mematahkan
perjuangan para Juru Da’wah, malah telah menolong para Muballigh berbicara
kepada Ummat Islam bahwa Jepang adalah bangsa yang zalim yang harus diusir dari
negeri ini.
Memang, jalan sempit serta licin.
Cuaca lincah, udara gelap.
Alam sekeliling merupakan ancaman.
Bukan saja ancaman pembuian, malah ancaman maut, ancaman kematian.
Perjuangan keyakinan Islam tidak
dapat dihentikan oleh ancaman Kenpei Tai, polisi rahasia Jepang yang
berkeliaran dimana-mana.
Masuk bui keluar bui, dari penjara ke
penjara menjadi tunangan yang harus dikawini oleh para pejuang Islam, sejak
zaman kolonial sampai kezaman fascisme Jepang.
Jika jalan sempit, tindasan semakin
menghimpit bagi para pemikir dan
pejuang, bagi Shahibud Da’wah yang arif memperhitungkan arah angin dan ukuran
cuaca, telah mempertajam analisa pandangan, memandaikan diri untuk lalu
menyeruak ditengah-tengah maha kesulitan itu.
Dalam salah satu pertemuan
Muballighin di Jawa Barat zaman Jepang, penulis buku ini pernah mengatakan :
..... Jika segala
pintu dan semua jendela telah tertutup rapat, saudara hendak memasuki ruangan
rumah saudara sendiri (merebut hati Ummat), saudara harus sanggup menjadi
angin, angin yang mampu memasuki ruangan rumah melalui lobang-lobang konci dan
lobang-lobang jendela.......
Jepang pulang kenegerinya tanpa
pamitan, tanpa memperhitungkan dan mempertanggung jawabkan kelakuan dan
pekerjaannya selama 3 ½ tahun yang telah merusak ruhani dan jasmani Ummat bangsa
kita.
Datangnya tidak dengan izin kita dan
pulangnya tanpa pamitan dengan kita.
Tanggal 17 Agustus 1945 meletuslah
Revolusi Indonesia.
Bung
Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan Kemerdekaan
Indonesia.
Proklamasi Kemerdekaan menuntut
pembelaan dari putera dan patriot Indonesia.
Tamansari Indonesia Merdeka harus
disiram dengan darah puteranya sendiri.
Perang Kemerdekaan, mempertahankan
hak mutlak bangsa kita, jelas artinya : Jihad fi sabilillah.
Bukankan dalam Indonesia Merdeka
Ummat Islam beroleh kembali kemerdekaannya, kemerdekaan beragama, yang telah
dirampas oleh imperialisme Barat selama 3 ½ abad dan oleh imperialisme Timur
(Jepang) selama 3 ½ tahun ?
Lonceng kemerdekaan Indonesia yang
berdentang pada tanggal 17 Agustus 1945, telah membuka kemungkinan luas para
Muballigh Islam untuk menyumbangkan dan mengurbankan apa yang dimilikinya dalam
Revolusi berdarah itu.
Tidak sulit mereka memilih posisi,
memilih bidang dan ruang, dalam perang kemerdekaan.
Tradisi revolusioner yang dimilikinya
selama ini (anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan
manifestasinya), watak dan semangat jihad yang diwarisinya turun-temurun, telah
memudahkan para Muballighin kita untuk memilih tempat apa tugasnya dalam perang
kemerdekaan itu.
Tugas itu yalah, mengobarkan jiwa
berkurban, menanamkan tekad bay’at ‘alal Maut, cinta menghadapi Maut
Utnuk menegakkan Hidup, membela Kemerdekaan tanah air tercinta,
dikalangan rakyat semesta.
Seiring dengan meledaknya granat dan
mortir digelanggang perang, meledak pulalah ayat-ayat Jihad dan Qital melalui
Lisan dan Tulisan para Muballighin Islam.
Dengan perantaraan radio, surat kabar
dan majalah, pamplet-pamplet, Tabligh dan rapat-rapat umum, jiwa jihad dan
semangat syahid dikobarkan dimana-mana.
Masuk kampung keluar kampung dari
masjid ke masjid, dari langgar ke langgar, ayat-ayat revolusioner dijadikan
dasar gemblengan dalam masyarakat.
Seluruh anggota masyarakat digerakkan
untuk berjoang mengusir penjajah, mengusir kafir dari Indonesia.
Kota-kota besar ditinggalkan, rumah
kediaman ditinggalkan. Orang kota hijrah kepedalaman. Rakyat Desa menerima
mereka dengan hti dan tangan terbuka, laksana kaum Anshar di Madinah menerima
Muhajirin dari Mekkah.
Kesediaan dan kerelaan menerima tamu
yang datang dari kota itu adalah buah gemblengan para Muballighin Islam.
Kaum tani dikerahkan untuk menyumbang
hasil pertaniannya kegaris depan.
Nasi bungkus dimobilisir untuk
memberi makan para pejuang dimedan pertempuran.
Seluruh potensi dikerahkan untuk
merampungkan revolusi, mengusir kaum imperialis dari pantai-daratan Indonesia,
mengusir kafir pulang kenegerinya.l
Kalimatun Sawa, kesamaan pendirian yang mengikat
erat rakyat revolusioner selama revolusi berdarah yaitu kemerdekaan tanah
air.
Kemerdekaan diatas segala-galanya.
Membela kemerdekaan artinya membela hak hidup dari Nation Indonesia yang besar.
Untuk merampungkan revolusi mengusir
penjajahitu tak ada perhitungan untung rugi, hidup atau mati. Kemerdekaan
menuntut siraman darah para syuhada, kemerdekaan menuntut diberyati segenap
putera bangsa.
Ketahanan revolusioner dan ketabahan
berjuang, kesabaran menanggungkan kekurangan, keteguhan pendirian mendaki
puncak gunung kesulitan dan menempuh jalan pendakian, yang ditanamkan kedalam
dada dan jantung rakyat semesta selama revolusi kemerdekaan, telah menjadi
taruhan pasti menangnya Bangsa Indonesia dalam mempertahankan Proklamasi dan
Revolusi Agustus.
Dalam menempa jiwa perjuangan dan
membangun semangat perlawanan pantang menyerah itu, jasa para Muballighin Islam
tidaklah kecil.
Rakyat dipedalaman menjadi saksinya.
Mimbar Da’wah telah menjadi
sektor-sektor perjuangan yang paling vital.
Shahibud Da’wah telah bertindak
menjadi jurubicara dari revolusi bangsa.
Saudara ! Kalau Republik Indonesia
kini telah diakui sebagai Imam dari perjuangan anti imperialisme oleh seluruh
bangsa Afro-Asia itu adalah wajah semangat Bangsa Indonesia. Wajah semangat
bukan hanya buatan Revolusi Agustus, tapi telah dibina selama ratusan tahun
oleh para pahlawan Islam.
Pahlawan-pahlawan Islam Diponegoro,
Imam Bonjol, Tenku Umar, Sulthan Babullah, Maulana Hasanuddin, Syarif
Hidayatullah, Cokro-Salim.
Dalam memelihara dan memupuk Wajah
Semangat anti imperialisme dan anti kolonialisme itu, Muballighin Islam
memegang peranan penting.
Sepak-terjang pejuang revolusioner
yang besar Jamaluddin Al Afghany menentang imperialisme Barat, telah memberi
ilham dan nafas kuat kepada angkatan Muballighin Islam di Indonesia.
Buah pena Amir Syakib Arsalan, ucapan
dan tulisan Sayid Abdurrahman Al-Kawakiby, telah memberikan inspirasi yang
tidak kecil artinya dalam menyelesaikan dan merampungkan Revolusi Indonesia
dalam makna memberi isi dan arti kepada kemerdekaan Bangsa, membentangi Negara
dari ancaman luar dan memelihara Revolusi-kerakyatan kita dari ancaman dari
dalam, tenaga Muballighin Islam akan tetap menjadi faktor yang sangat vital.
Ummat Islam chususnya dan Muballighin
Islam umumnya bertanggung jawab dari awwal sampai achir dari Revolusi
Indonesia.
Kita tidak boleh absen dalam Revolusi
Bangsa Kita.
Hidup suburnya Agama,
mekar-menguntumnya Ketuhanan Yang Maha Esa di Indonesia, tegak atau rebahnya
keyakinan Islam dinegeri ini bergantung seluruhnya kepada kegiatan, tindakan,
sikap dan perjuangan Ummat Islam Indonesia sendiri dalam taraf penyelesaian
Revolusi Bangsa kita.
Dalam arus dan gelombangnya revolusi
kemanusiaan sekarang ini untuk mengachiri perbudakan dan perhambaan dunia,
mengachiri hayatnya imperialisme dan kolonialisme, melepaskan bangsa-bangsa
Afro-Asia dari belenggu kaum imperialis, tenaga Juru Da’wah diseluruh dunia
tidak kecil artinya.
Ajaran Islam pada dasarnya anti
imperialisme dan kolonialisme dlam segala bentuk dan manifestasinya.
Ummat Islam mempunyai tradisi
revolusioner dalam perjuangan melawan imperialisme dan kolonialisme.
Pertahankan dan teruskanlah pendirian
dan tradisi itu dengan konsekwen, kalau kita tidak bersedia menjadi ummat yang
hancur lumat ditindas oleh roda-raksasanya revolusi kemanusiaan sekarang.
Ummat Islam umumnya dan Muballighin
Islam chususnya mendapat panggilan chusus dalam perjuangan anti imperialsime
dan kolonialisme itu.
Panggilan mengachiri perbudakan
didunia, terutama diatas bumi Ummat Islam sendiri.