Menjadi situkang-seru, Juru Da’wah atau Muballighul Islam selama
puluhan tahun, banyak memberikan pokok pengertian, faham dan pegangan.
Perjalanan sejauh itu
telah memperkaya diri dengan pengalaman, membajakan diri dengan keyakinan,
malah mempertajam pandangan. Menelan pahit getir, menempuh duri dan derita.
Kegagalan dan kemenangan, tegak dan rebah sesa’at, datang silih
berganti.
Tempo-tempo mendapat pujian dan sanjungan, tempo-tempo dihempas
oleh badai celaan dan cacian.
Kegiatan berenang antara dua gelombang, berjuang dan lalu
ditengah dua-ufuk dunia yang saling bertentangan, sanjungan dan ejekan, pujian
dan makian.
Sorak sorai yang riuh gemuruh, tepuk tangan yang gegap dan
gempita dari siorang banyak yang senang mendengar dan rela menerima. Diantara
dua ufuk itulah seorang juru da’wah atau Muballighul Islam lalu-berjalan,
melakukan tugas Kepemimpinan perjuangan suci ini.
Itulah risiko menjadi Muballigh, risiko si Juru Da’wah, juara
mimbar pendukung Cita dan Cinta.
Itulah senandung hidup Mu’min dan Mujahid, seorang pejuang dulu,
kini dan nanti.
Dimulai dari pengajian Tabligh yang hanya dihadiri oleh puluhan,
ratusan, dan ribuan pendengar, sampai kepada rapat raksasa yang dikunjungi oleh
puluhan ribu manusia, hingga kerapat samudera dilapangan luas yang dibanjiri
oleh juta-an massa rakyat, semuanya itu telah dialaminya.
Hampir seluruh daerah Nusantara telah dikunjunginya.
Dari segala bidang kegiatan dan ruang bertindak itu, dari hempasan
dan amukan taufan yang datang silih berganti itu, banyak dia mendapat
pelajaran, pokok dan patokan, faham dan pengertian.
Banyak dia mendapat pengalaman maha berharga yang mengajarkan
cara bagaimana mendekati, menghampiri dan menghadapi manusia yang beraneka
ragam itu, cara bagaimana mengemukakan suatu keyakinan, mendewasakan manusia
dan kemanusiaan.
Dia telah mencari dan menemukan bentuknya melalui pengalaman,
kegiatan dan perjuangan.
Malah dia telah mendapat pelajaran dari kegagalan yang kerap
dialaminya dalam menunaikan tugas.
Dari pengalaman segala itu, barangkali dia telah beroleh syarat
minimal untuk memberikan suatu perbentangan, laporan pengalaman, laporan
perjuangan dan kegiatan secara populer dan elementer.
Barangkali dia telah boleh menuturkan, apa sesungguhnya hakikat
keyakinan yang diperjuangkan, dimana terletak kekurangan dan kelemahan.
Bagaimana caranya menjadi seorang propagandis yang piawai,
bagaimana caranya menjadi Shahibud Da’wah, Juru Da’wah yang baik.
Dalam menjalankan tugas, pesan dan amanat perjuangan yang
diterima banyak pengalaman, pokok pengertian dan kepingan penderitaan yang
layak ditinggalkan kepada generasi muda yang akan menggantikan angkatan lama,
angkatan si laruik sanjo ini dengan harapan, semoga dapat dijadikan
pegangan dalam menghadapi tantangan zaman dan membuat masa depan lebih terang
dan gemilan.
Suatu penuturan, bagaimana caranya menjadi Juru Da’wah, apa
fungsi situkang-seru dalam menghadapi fenomena kemasyarakatan barulah satu
aspek dari pengalaman dan pengertian itu.
Dari fihak kader-kader muda Islam telah lama disampaikan
permintaan, agar mereka diberikan bimbingan dan pedoman, bagaimana caranya
menjadi ahli pidato yang baik, menjadi seorang orator dan agitator, seorang
redenar juara mimbar.
Permintaan para kader
itu tadinya tidak mendapat perhatian. Pertama, orang yang diminta bukan seorang
redenar, bukan seorang orator dan agitator yang inuhung, kerenanya tidak
mempunyai hak moril untuk melakukan pekerjaan itu.
Kedua, karena hirauan perjuangan dan kesungguhan dibidang lain,
permintaan yang tidak penting tadinya itu tidak pernah dimasukkan
kedalam rangka pemikiran dan acara kegiatan.
Achirnya kodrat zaman melemparkan dirinya kesuatu daerah
kesepian. Rupanya didaerah itu hidup kenangan lama, kenangan perjuangan dan kehidupan
yang larut serta sayup.
Didaerah itu timbul keinginan hendak membuat catatan dan uraian, sugan
jeung sugan ada guna dan maknanya bagi angkatan kemudian. Diantara catatan
dan uraian itu adalah karangan ini.
Materi persoalan yang dihidangkan sebenarnya masa lalu, keyakinan
yang dianut, kesadaran atas kondisi dan konstelasi masyarakat dan tinjauan
kedepan.
Rangkaian pengalaman, keyakinan yang diperjuangkan, kesadaran
atas realisme dan dinamisme sejarah sebagai kenyataan hidup, dan tinjauan masa
depan, itulah sebenarnya yang menjadi bahan dalam menyusun buku ini.
Ia bukan saja hendak berusaha mencari dan menemukan Juru Da’wah
dengan memberikan pokok-pokok pengertian, tapi terutama hendak berbicara kepada
situkang Da’wah itu sendiri, betapa berat beban dan tanggung jawab, apa risiko
dan konsekwensi yang pasti ditemui dalam menunaikan Da’wah Islam, dalam segala
artinya.
Keluasan cita Da’wah memperingatkan kepada segenap kita, bahwa
jalan panjang dan rantau jauh yang terbentang dimuka kita, banyak menjadikan
duri dan penderitaan, keringat dan air mata.
Samudera perjuangan yang luas entah dimana tepinya itu, penuh
dengan amukan taufan dan hempasan badai.
Semoga buku ini berguna dan bermakna bagi angkatan muda chususnya dan Ummat Islam umumnya.
Kepada Allah saya kembalikan segala puji, daripadaNya saya
harapkan Taufik dan Hidayah.
Dengan perkenan ridlaNya jua kiranya usaha kecil ini diterima
hendaknya menjadi amal shaleh bagi penulisnya.
Bengawan Madiun, Dzulhijjah 1383 / April 1964