Bab 1 Bab 2 Bab 3 Bab 4 Bab 5 Bab 6 Bab 7

 

VII. IDEOLOGI DAN STRATEGI DA’WAH

 

 

A. Fungsi Wahyu

.....................

 

B. Membangun Dunia Islam

.............................

 

1.       Menemukan kembali ajaran Islam yang murni dan asli, bersumber kepada Qur-an dan Sunnah.

......................

2.       Ummat Islam harus menemukan dirinya kembali.

.......................

3.       Menghidupkan rasa percaya kepada diri sendiri.

..................................

4.       Menghidupkan ruhul-jihad, dinamisme dan optimisme.

....................................

5.        Menjawab tantangan.

.....................................

a.       Serbuan-teratur dari kaum Masehi.

...........................

b.       Marxisme, materialisme, atheisme dan komunisme.

...........................

 

c.       Sekularisme, La Dinyah.

Kultur imperialisme Barat telah mewariskan semacam “mazhab pikiran” yang amat menyesatkan alam Islamy, yalah suatu pandangan hidup “serba-dunia”, sekularisme atau La Dinyah !

Faham sekularisme membawa ajaran, Islam tidak perlu dibawa-bawa mengatur masyarakat;  agama adalah soal pribadi dan uchrawy; persoalan dunia dan negara, persoalan masyarakat dan kehidupan manusia seluruhnya terserah kepada pikiran, otak dan rasio manusia.

Tangan Tuhan tidak boleh ikut campur mengatur manusia.

Ajaran imperialisme Barat itu tentu saja dalam rangka tujuan hendak meng-Keristenkan dan meng-Kafirkan Ummat Islam, hendak melikwidir Islam dari muka bumi.

Siasat jahat kaum imperialis ini mendapat ruang dan peluang yang lapang ditanah-tanah Islam yang dijajahnya. Kelakuan dan tindak tanduk para chalifah dan kepala Negara yang menyebutkan dirinya “wakil Tuhan” didunia tapi sudah menyimpang dari Quran dan Sunnah, telah merentangkan jalan bagi lancarnya faham sekularisme itu. Sejarah menyaksikan, kezaliman Sulthan Abdul Hamid yang telah membawa malapetaka bangsa Turki dalam masa yang lama.

Gerakan Turki Muda dengan pimpinan Mustafa Kemal berhasil menggulingkan kekuasaan Sulthan yang zalim itu.

Akan tetapi Mustafa Kemal tidak memberikan alternatif yang benar kepada rakyat yang sudah terlepas dari belenggu kezaliman itu.

Kemalisme telah menyunglap wajah Turki menjadi bangsa dan negara sekular.

Segala yang berbau “Arab” dimusnahkan.

Bahasa Ibadah dilarang, karena ia adalah “Arab” yang harus dibasmi.

Nasionalisasi dan rasionalisasi dilancarkan.

Adzan dan iqamat harus dengan bahasa Turki, tidak boleh lagi dengan bahasa Arab, karena Arab adalah malapetaka dan sumber bencana.

Mustafa Kemal hendak membangun sebuah rumah melalui mengancurkan sebuah kota. Bangsa Turki yang pernah dalam sejarah mengambil alih dan meneruskan pimpinan dan kejayaan Islam, dipaksa dengan sekularisme yang didatangkan dari Barat.

Mustafa Kemal emoh kepada Timur (Islam) dan dia berkiblat ke Barat.

Kemalisme hendak membangun Turki Baru dengan jalan menindas kehidupan ruhani, kehidupan jiwa bangsa Turki sendiri.

Jika hanya menilainya dari satu segi, Mustafa Kemal memang seorang pahlawan.

Dia telah sukses dan jaya menjatuhkan rezim lama yang zalim.

Dia telah diangkat menjadi Bapak Republik Turki, dan namanya diganti dengan Kemal Attaturk, Bapak Bangsa, sebagai tanda penghormatan dan penghargaan kepada jasanya.

Memang dia seorang pahlawan, seorang jendral !

Tetapi apakah dia seorang patriot komplit, masih menjadi pertanyaan.

Bukankah patriot komplit harus mengenal betul jiwa bangsanya, nurani dan naluri bangsanya, isi dada, darah dan daging bangsanya ?

Bukankah nurani dan naluri, isi dada, darah dan daging bangsa Turki adalah Islam ?

Kalau Kemal Attaturk kesal, dendam dan benci melihat praktek para Sultan sebelum dia mengendalikan negara, orang seperti dia tentunya tahu, bahwa para Sultan itu telah menyimpang dan menyeleweng dari Quran dan Sunnah.

Kenapa justru Islam (hukum dan syari’atnya) yang harus menerima hukuman-pengebirian, dan menggantinya dengan sekularisme Barat.

Sekularisme atau La Dinyah yang dipaksakan kepada bangsa yang telah berabad-abad menerima dan mengamalkan Islam yang malah telah membuat bangsa itu menjadi besar dan jaya dalam sejarah.

Pada hakekatnya Bapak Turki pada permulaan telah menanamkan bibit antipati dalam hati rakyat. Dia bukan saja tidak mendengar nurani dan naluri bangsanya, tapi malah menentang hatinurani budi dan naluri bangsanya.

Berhasilkah dia menyembuhkan “orang sakit di Eropah” itu dengan resep imperialis, ialah sekularisme, faham yang memecah duniawy dan uchrawy, menceraikan jasmani dengan ruhani ?

Sejarah menyaksikan “orang sakit” itu masih tetap belum mendapatkan kesembuhannya.

Telah puluhan tahun sekularisme memerintah bangsa Turki, tetapi bangsa itu masih tetap “orang sakit” yang menunggu obat.

Tiga tahun yang lalu seorang teman yang pernah tinggal 2 tahun di Angkara menceritakan kepada penulis, bagaimana nasib malapetaka dan sengsara bangsa Turki sekarang ini.

Teman saya itu berkata : “Seorang penjabat tinggi negara Turki pernah berkata kepada saya dengan nada haru dan keluh, bahwa sewaktu dia di Amerika melihat pembesar-pembesar pemerintahan setiap hari minggu datang ke Gereja dengan anak dan isterinya. Ingin penjabat negara itu hal yang seperti itu berjalan dinegerinya; dia ingin melihat kehidupan yang subur dinegerinya.”

Kehidupan rakyat jauh dibawah taraf yang layak sebagai manusia yang adab.

Ekonomi dan sosial rakyat belum mendapat perubahan.

Jiwa dan ruhani rakyat kering. Jika hendak mendirikan Mesjid atau madrasah harus minta idzin lebih dahulu kepada pemerintah. Sekularisme sudah kehilangan akal dan kehabisan daya untuk mengendalikan rakyat Islam yang terkenal fanatik dan teguh hati itu.

Rakyat rindu kepada kebebasan hidup beragama, kebebasan mengembangkan kodrat dan tha’at. Rakyat rindu dan terkenang kepada sejarah lama, sejarah nenek moyang yang besar.

Teman tersebut pernah memberi nasehat tulus kepada seorang pemimpin Turki :

....... Kalau Tuan ingin membangun negeri Tuan, ingin membangun bangsa Turki kembali, Tuan harus kembali memakai cara yang pernah menjayakan bangsa ini dahulunya !”

Nasehat diatas adalah tepat.

Suatu bangsa yang agamanya telah menjadi darah daging, tidak mengkin ditegakkan dengan sistem yang bertentangan dengan jiwanya.

Sekularisme mungkin berhasil dilaksanakan pada bangsa luar Islam.

Jika Revolusi Perancis gagal karena rakyat tidak mendapatkan kebebasan dan kebahagiaan dalam soal ekonomi, maka Revolusi Turki  Muda gagal karena tidak berlandaskan semangat dan jiwa rakyat.

Bukan di Turki saja kita melihat adanya sekularisme. Juga banyak negara-negara Islam yang menyebutkan dalam Undang-Undang Dasarnya berdasarkan Islam, tapi sistem perundang-undangan menyimpang dari tuntunan syari’at.

Dengan ucapan Dr. A. Kadir Auda Rahimahullah, seorang sarjana Islam Mesir, yang ikut menggulingkan rezim Farouk waktu Revolusi Mesir 1952, dalam bukunya “Islam dan Perundang-Undangan”.

Sudah menjadi tabi’i bagi Islam, bahwa dia merupakan dasar hukum pada tiap negeri yang telah dimasukinya, dan bila Islam itu merupakan Agama, maka ia menjadi syari’at yang sempurna bagi tiap-tiap Muslim.

Karenanya, syari’at Islam adalah merupakan Undang-Undang yang satu-satunya bagi tiap-tiap negeri Islam sejak Islam menjelma kenegeri itu, dan hal seperti itu berlangsung terus sampai imperialisme berkuasa menggagahi negeri-negeri Islam itu. Maka dimasukkannya Perundang-undangan Eropah kenegeri-negeri Islam; atau karena pembesar-pembesar Islam itu telah dapat ditipu oleh imperialis, yang seolah-olah masuknya Perundang-undangan Eropah itu adalah merupakan pelindung dan rahmat. Karena adalah alasan yang berulang-ulang dikemukakan ialah, bahwa mereka ingin mengambil sebab-sebab kemajuan Barat dan Eropa, yang seakan-akan kemajuan-kemajuan Barat itu adalah pangkal pada Perundang-undangan ciptaan manusia, dan seolah-olah kemunduran dan kelemahan Kaum Muslimin adalah karena disebabkan oleh Syari’at Langit.

Dan saya tahu, bahwa alasan-alasan hampa yang seperti itu telah tersebar pula dinegeri-negeri Islam, dibenarkan dan dipercayai, dikampanyekan ditempat-tempat kulliyah dan dicantumkan dikitab-kitab pelajaran sekolah.

Dalil yang dangkal

Bila orang-orang yang lalai itu mau berpikir, mudahlah mereka mengerti, bahwa alasan-alasan yang mereka pakai itu adalah dangkal. Karena Undang-Undang yang telah mereka kagumi itu, tidak lain berasal dari negeri Rumawi.

Dan Perundang-undangan Rumawi itu, tidak dapat mencegah bangsa Arab dan ummat Islam dari meruntuhkan kerajaan Rumawi, dan Undang-Undang ini juga tidak dapat menjaga Eropa seluruhnya dari huru-hara yang celaka pada perang salib.

Adalah gampang bagi kawan-kawan yang telah lalai itu, bila mereka berpikir, tentu akan tahu, bahwa Syari’at Islam adalah syari’at yang pertama-tama bagi kaum Muslimin. Syari’at itu menjadi hakim bagi mereka, sedangkan waktu itu mereka masih sedikit lagipun lemah, masih takut bila diserang oleh manusia banyak; dan bahwa mereka dibawah naungan Syari’at ini sesudah duapuluh tahun dari wafatnya Rasulullah Muhammad SAW telah sanggup menggulingkan kerajaan Persia yang sesat dan sombong itu dari muka bumi, dan dapat pula mengusir kerajaan Rum dan Syam (Sirya), Mesir dan dari Afrika Utara, hingga mereka menjadi pemegang tampuk kekuasaan dunia dan pemimpin ummat manusia lebih dari seribu tahun; dan dibawah naungan Syari’at ini pulalah mereka dapat memukul tentara salib dan mengalahkan bangsa Tartar, dan memerangi Eropa sebelah Timur, Selatan dan Baratnya dan mendudukinya selama seratus tahun, ( 40-41 ).

Hendaklah ummat Islam mengerti, bahwa Islamlah yang menciptakan mereka menjadikannya sebaik-baik ummat yang dibangkitkan untuk manusia, dan menyebabkan mereka dulu bisa berkuasa diatas kerajaan-kerajaan dunia; dan bahwa Syari’at Islam itulah yang mengajar dan mendidik mereka, merasakan artinya mulia dan jaya; memberikan kekuatan dan cita-cita, melahirkan pahlawan-pahlawan yang membuka negeri-negeri dan mengasaskan beberapa kerajaan-kerajaan; dan Syari’at Islam itu pulalah yang melahirkan para Ulama dan pujangga-pujangga yang memuliakan pengetahuan-pengetahuan dan sastera dengan sechidmat-chidmatnya.

Kaum Muslimin hendaklah mengerti, bahwa Syari’at Islam itu, adalah awal syari’at yang membawa manusia kepada persamaan yang sungguh-sungguh dan keadilan yang mutlak, dan mewajibkan mereka supaya bekerja sama atas dasar kebaikan dan Taqwa, dan bahwa mereka mengajak kepada etik yang murni, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar; dan bahwa perundang-undangan buatan manusia itu tidak berhubungan dengan unsur-unsur tersebut, kecuali kepada sebagian kecil yang telah dibawa juga oleh Syari’at Islam.

Kaum Muslimin hendaklah mengerti, bahwa Syari’at Islam akan melakukan tugasnya selama kaum Muslimin berpegang teguh dengan Syari’at itu.

Maka bila mereka telah tinggal ia, dan telah dikosongkan segala hukum-hukum yang dibawanya, niscaya mereka ditinggalkan oleh kemajuan dan kembali kepada kemunduran yang gelap gulita dimana mereka selama ini sebelum datang Islam – dalam keadaan buta; kembalilah mereka lemah dan diperbudak, tidak sanggup lagi untuk menangkis perkosaan dan mencegah penganiayaan. (43).

Chusus mengenai Negeri Islam Mesir Auda berkata :

Inilah Mesir, Negeri Islam yang telah berabad-abad dalam ke Islamannya, dulu ia menempatkan dirinya untuk membela Islam dan menyebarkannya pada seperempat dunia. Dan begitulah ia sekarang mengorbankan segala kesungguhan apa yang ia miliki untuk membangkitkan kaum Muslimin, dan membetulkan kepercayaan mereka dan mengatur barisan mereka supaya sama dan menyatukan arah dan mendorong mereka kepada satu jalan yang sama, yaitu : menghidupkan Negara Islam dan meninggikan Kalimah Islam.

Apa yang diperbuat Mesir yang Islam terhadap Islam ?

Sesudah itu, mari kita meninjau pula apa yang diperbuat oleh Mesir terhadap dirinya sendiri dan terhadap Agama Islam yang ia imani dan ia agungkan. Marilah kita lihat apa yang diperkuat Mesir hari ini terhadap Islam dibawah pengaruh Undang-Undang ciptaan manusia yang dipindahkan dari Negeri Perancis yang durhaka (kufur) itu, atau dari negeri Inggris yang hidupnya menipu Islam, atau dari negeri Italia yang tidak bosan-bosan hidupnya untuk memerangi Islam. Itulah Perundang-undangan yang diambil dari negeri-negeri yang tidak Islam yang disebut dengan “Masehi”, padahal sebenarnya ia telah terlepas dari ajaran agama itu yang sebenarnya; dari negeri-negeri yang dikatakan iman dengan ke-Rasulan Masih ‘alaihissalam, dan pada hal sebenarnya tidak iman, kecuali dengan syirik, kufur dan engkar kepada Allah.

Negara Mesir beragama Islam tetapi menghampakan Islam.

Mesir yang Islam, yang diatas kepalanya ada kepala Negara Islam, dan baginya ada pula pemerintahan yang Islam, adalah mempunyai hasrat yang besar sekali untuk menyatakan, bahwa Agama Negara yang resmi ialah Islam. Dan demikian itu dicantumkan terang didalam Undang-Undang Dasar. Dan dimaklumkan kepada Negara, supaya menghormati segala soal-soal Islam. Maka berkuasalah Negara untuk mengatur pengajaran dan kebudayaan Islam, dan soal-soal ibadat dan wakaf-wakaf menurut Islam.

Negara dengan sendirinya menjadi kepercayaan untuk mempraktekkan prinsip-prinsip Islam dalam masyarakat, ekonomi, moral dan achlak, urusan kehakiman, politik dan sebagainya. Dan tidaklah menjadi ketentuan bagi Pemerintah Islam dan Negara Islam dengan ini semua, apa-apa yang menyalahi hukum-hukum Islam.

Tetapi Pemerintah Mesir yang Islam, apa yang selalu didengung-dengungkannya dan dinyatakannya dalam penetapan-penetapan resmi, tak bisa mencegah dari berbuat menghampakan Syari’at Islam, dan bahwa ia mengharamkan apa yang dihalalkan Islam dan sebaliknya menghalalkan apa yang terang-terang diharamkan oleh Islam.

Bahwa Pemerintah Mesir yang Islam dalam logikanya, adalah memudahkan saja untuk menjalankan Perundang-undangan Eropa terhadap rakyat Islam sebagai ganti dari Syari’at Islam, padahal Undang-Undang itu sama sekali tidak menyamai Syari’at Islam dalam segala seginya, baik dari segi ilmiyah maupun dari segi seninya.

Karenanya, Undang-Undang ini menyalahi hukum-hukum Islam, dan dengan begitu Pemerintah Mesir menghampakan Syari’at Islam. Sedangkan Syari’at, ialah himpunan dari hukum-hukum Islam, maka menghampakannya, berarti menghampakan Islam. Apalah dengan logika yang jungkir balik dapat dikatakan, bahwa Pemerintah Islam (Mesir) menegakkan akan Islam dan ia tidak malu-malu menda’wahkan dirinya sebagai pembela kaum Muslimin dan tegak berdiri untuk melaksanakan hukum-hukum Islam ? ( 58 – 59 )

Achirnya Auda menggambarkan bekerjasamanya kaum imperialis dengan misi zending keristen :

Imperialis sebagaimana ia minta bantu kepada para pembesar-pembesar Islam untuk menghancurkan Islam, iapun meminta tolong pula kepada kaum zending (misi). Kaum zending yang memandang pula, bahwa adalah suatu pekerjaan yang sukar untuk mengkafirkan orang Islam dan memalingkannya dari agamanya dengan secara buru-buru dan secara langsung.

Oleh sebab itu, mereka buatlah rencana yang tinggi mutunya untuk memalingkan kaum Muslimin dari ajaran agama mereka, yaitu dengan cara berangsur-angsur dan dengan tidak secara langsung.

Bila kaum Muslimin telah berpaling satu langkah dari ajaran agamanya, memberi kemungkinan pula mereka akan berpaling selangkah lagi, lebih-lebih bila hal itu dengan cara evolusi. Beginilah caranya, hingga datang suatu hari dimana kaum Muslimin telah berpaling dari Islam dan mereka merupakan pemerang (penantang) agama mereka sendiri kelaknya.

Dan menjadi plan (rencana) bagi kaum zending untuk mengajarkan kaum Muslimin dalam sekolah-sekolah yang mereka bangun : bahwa agama, sesuatu yang tersendiri, dan ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang lain pula. Bahwa agama selama ini adalah melawan akan ilmu pengetahuan yang menjadi asas bagi kemajuan manusia zaman sekarang. Untuk ini mereka kemukakan berbagai-bagai contoh dalam sejarah gereja Masehi.

Begitulah mereka mengajarkan kepada putera-putera Muslimin, bahwa kemunduran mereka adalah berpokok karena berpegang teguh (fanatik) kepada agama, menjadikan agama itu jadi hukum dalam soal-soal keduniawian.

Kaum Muslimin tidak akan maju-maju selama mereka tidak mau memisahkan antara agama dan negara, dan harus bernegara seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang Eropa.

Beginilah caranya zending dan imperialis bekerja keras melalui jalan yang sama dan saling bantu-membantu untuk mencapai suatu tujuan yang sama pula. ( 122 – 123 ) *)

Sengaja agak panjang kita mengutip ucapan sarjana Islam yang kenamaan itu. Tujuan kita tidak lain untuk menggambarkan, betapa hebatnya bencana yang dibawa oleh sekularisme Barat atas Dunia Islam, dan telah diterima oleh pembesar-pembesar Islam dengan tidak menyadari – barangkali – akibatnya adalah meruntuhkan sendi dasar Islam sendiri.

Dalam Dekrit 5 Juli 1959 Kembali ke Undang-Undang Dasar 45, Piagam Jakarta dinyatakan “menjiwai UUD 45 (Mukadimmah dan batangtubuh Konstitusi) dan adalah merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut”.

Bukankah Piagam Jakarta mengandung kalimat sakti “...... dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya ?

Kalimat diatas memperingatkan kepada Muslimin seluruhnya, agar dengan kemampuan dan pengetahuan yang mereka miliki, menjaga jangan sampai di Indonesia ini berlaku pula sekularisme.

Tugas maha berat tapi agung terletak kini diatas pundak para Ulama dan sarjana Islam, untuk menggali hukum dan syari’at Islam, sistem perundang-undangan Islam, guna disumbangkan bagi pembangunan bangsa dan negara.

Masukkanlah sebanyak mungkin unsur ajaran Islam kedalam Perundang-undangan Negara yang ber Ketuhanan ini.

Hukum dan syari’at Islam yang pernah menjayakan Ummat sebelum kita, karena mematuhi ajaran yang dibawa Muhammad SAW untuk seluruh isi alam.

Faris Al-Khury, seorang tokoh Keristen Syria yang terkenal itu berkata dengan jujur :

Muhammad adalah seorang Nabi yang paling besar didunia, tak pernah masa memperoleh seorang Nabi yang sebanding dengan Muhammad itu. Agama yang dibawa Muhammad adalah agama yang paling sempurna. Muhammad telah meletakkan dalam syari’at empat ribu masalah ilmiyah, baik dalam bidang sosial maupun dalam bidang hukum.

Seluruh sarjana hukum harus mengakui keutamaan Muhammad itu. Prinsip-prinsip yang dikemukakan Muhammad sesuai dengan ilmu. **)

Syaichul Islam Ibnul Qayyim berkata :

Sesungguhnya syari’at Allah ditegakkan diatas dasar kebijaksanaan dan kemaslahatan untuk kebahagiaan hidup manusia didunia dan achirat. Semuanya maslahah.

Maka semua persoalan hidup yang keluar dari batas-batas keadilan dan kebijaksanaan serta berubah menjadi kecurangan, kekejaman, kerusuhan dan permainan, maka tidak boleh dimasukkan dalam syari’at Allah, sebab syari’at Allah adalah lurus buat segenap hambaNya, rahmat kasih sayang Allah terhadap machluknya untuk dijadikan tempat bernaung dibumi ini dan merupakan hikmah Allah untuk dijadikan bukti kebenaran para RasulNya. ***)

Para Juru Da’wah juga mempunyai kewajiban untuk mengembangkan, meratakan faham hukum dan syari’at Islam dalam masyarakat; memperkenalkan hukum dan syari’at Islam itu kepada manusia umumnya.

Hukum dan syari’at Islam dalam segala aspeknya.

 

*)         A. Kadir Auda, Islam dan Perundang-undangan, terjemahan H. Firdaus A.N. Japena Dep. Agama ( 1959 )

**)        T. Hasbi Ash-Shiddieqy, Segi-segi Kesempurnaan dan Keagungan Syari’at Islam, Al-Jami’ah : Majalah Ilmu Agama Islam, I. No. 6, hal. 5.

***)       Muhammad Al-Ghazali, Lisa Minal Islam

d.       Penobrosan kebudayaan.

e.       Aliran kebathinan yang tumbuh-menjamur.

f.         Desintegrasi dalam tubuh Ummat Islam.

 

 

 

6.       Mengembangkan kegiatan yang konstruktif untuk memberi isi dan arti kepada revolusi kerakyatan disegala nation.

....................................