.....................
.............................
1.
Menemukan kembali ajaran
Islam yang murni dan asli, bersumber kepada Qur-an dan Sunnah.
......................
2.
Ummat
Islam harus menemukan dirinya kembali.
.......................
3.
Menghidupkan
rasa percaya kepada diri sendiri.
..................................
4.
Menghidupkan
ruhul-jihad, dinamisme dan optimisme.
....................................
.....................................
a.
Serbuan-teratur dari
kaum Masehi.
...........................
b.
Marxisme, materialisme,
atheisme dan komunisme.
...........................
c.
Sekularisme,
La Dinyah.
Kultur imperialisme Barat telah mewariskan semacam “mazhab pikiran”
yang amat menyesatkan alam Islamy, yalah suatu pandangan hidup “serba-dunia”,
sekularisme atau La Dinyah !
Faham sekularisme membawa ajaran, Islam tidak perlu dibawa-bawa
mengatur masyarakat; agama adalah soal
pribadi dan uchrawy; persoalan dunia dan negara, persoalan masyarakat dan
kehidupan manusia seluruhnya terserah kepada pikiran, otak dan rasio manusia.
Tangan Tuhan tidak boleh ikut campur mengatur manusia.
Ajaran imperialisme Barat itu tentu saja dalam rangka tujuan hendak
meng-Keristenkan dan meng-Kafirkan Ummat Islam, hendak melikwidir Islam dari
muka bumi.
Siasat jahat kaum imperialis ini mendapat ruang dan peluang yang lapang
ditanah-tanah Islam yang dijajahnya. Kelakuan dan tindak tanduk para chalifah
dan kepala Negara yang menyebutkan dirinya “wakil Tuhan” didunia tapi sudah
menyimpang dari Quran dan Sunnah, telah merentangkan jalan bagi lancarnya faham
sekularisme itu. Sejarah menyaksikan, kezaliman Sulthan Abdul Hamid yang telah
membawa malapetaka bangsa Turki dalam masa yang lama.
Gerakan Turki Muda dengan pimpinan Mustafa Kemal berhasil menggulingkan
kekuasaan Sulthan yang zalim itu.
Akan tetapi Mustafa Kemal tidak memberikan alternatif yang benar kepada
rakyat yang sudah terlepas dari belenggu kezaliman itu.
Kemalisme telah menyunglap wajah Turki menjadi bangsa dan negara
sekular.
Segala yang berbau “Arab” dimusnahkan.
Bahasa Ibadah dilarang, karena ia adalah “Arab” yang harus dibasmi.
Nasionalisasi dan rasionalisasi dilancarkan.
Adzan dan iqamat harus dengan bahasa Turki, tidak boleh lagi dengan
bahasa Arab, karena Arab adalah malapetaka dan sumber bencana.
Mustafa Kemal hendak membangun sebuah rumah melalui mengancurkan sebuah
kota. Bangsa Turki yang pernah dalam sejarah mengambil alih dan meneruskan
pimpinan dan kejayaan Islam, dipaksa dengan sekularisme yang didatangkan dari
Barat.
Mustafa Kemal emoh kepada Timur (Islam) dan dia berkiblat ke Barat.
Kemalisme hendak membangun Turki Baru dengan jalan menindas kehidupan
ruhani, kehidupan jiwa bangsa Turki sendiri.
Jika hanya menilainya dari satu segi, Mustafa Kemal memang seorang
pahlawan.
Dia telah sukses dan jaya menjatuhkan rezim lama yang zalim.
Dia telah diangkat menjadi Bapak Republik Turki, dan namanya diganti
dengan Kemal Attaturk, Bapak Bangsa, sebagai tanda penghormatan dan penghargaan
kepada jasanya.
Memang dia seorang pahlawan, seorang jendral !
Tetapi apakah dia seorang patriot komplit, masih menjadi pertanyaan.
Bukankah patriot komplit harus mengenal betul jiwa bangsanya, nurani
dan naluri bangsanya, isi dada, darah dan daging bangsanya ?
Bukankah nurani dan naluri, isi dada, darah dan daging bangsa Turki
adalah Islam ?
Kalau Kemal Attaturk kesal, dendam dan benci melihat praktek para
Sultan sebelum dia mengendalikan negara, orang seperti dia tentunya tahu, bahwa
para Sultan itu telah menyimpang dan menyeleweng dari Quran dan Sunnah.
Kenapa justru Islam (hukum dan syari’atnya) yang harus menerima
hukuman-pengebirian, dan menggantinya dengan sekularisme Barat.
Sekularisme atau La Dinyah yang dipaksakan kepada bangsa yang telah
berabad-abad menerima dan mengamalkan Islam yang malah telah membuat bangsa itu
menjadi besar dan jaya dalam sejarah.
Pada hakekatnya Bapak Turki pada permulaan telah menanamkan bibit
antipati dalam hati rakyat. Dia bukan saja tidak mendengar nurani dan naluri
bangsanya, tapi malah menentang hatinurani budi dan naluri bangsanya.
Berhasilkah dia menyembuhkan “orang sakit di Eropah” itu dengan resep
imperialis, ialah sekularisme, faham yang memecah duniawy dan uchrawy,
menceraikan jasmani dengan ruhani ?
Sejarah menyaksikan “orang sakit” itu masih tetap belum mendapatkan
kesembuhannya.
Telah puluhan tahun sekularisme memerintah bangsa Turki, tetapi bangsa
itu masih tetap “orang sakit” yang menunggu obat.
Tiga tahun yang lalu seorang teman yang pernah tinggal 2 tahun di Angkara
menceritakan kepada penulis, bagaimana nasib malapetaka dan sengsara bangsa
Turki sekarang ini.
Teman saya itu berkata : “Seorang penjabat tinggi negara Turki pernah
berkata kepada saya dengan nada haru dan keluh, bahwa sewaktu dia di Amerika
melihat pembesar-pembesar pemerintahan setiap hari minggu datang ke Gereja
dengan anak dan isterinya. Ingin penjabat negara itu hal yang seperti itu
berjalan dinegerinya; dia ingin melihat kehidupan yang subur dinegerinya.”
Kehidupan rakyat jauh dibawah taraf yang layak sebagai manusia yang
adab.
Ekonomi dan sosial rakyat belum mendapat perubahan.
Jiwa dan ruhani rakyat kering. Jika hendak mendirikan Mesjid atau
madrasah harus minta idzin lebih dahulu kepada pemerintah. Sekularisme sudah
kehilangan akal dan kehabisan daya untuk mengendalikan rakyat Islam yang
terkenal fanatik dan teguh hati itu.
Rakyat rindu kepada kebebasan hidup beragama, kebebasan mengembangkan
kodrat dan tha’at. Rakyat rindu dan terkenang kepada sejarah lama, sejarah
nenek moyang yang besar.
Teman tersebut pernah memberi nasehat tulus kepada seorang pemimpin
Turki :
....... Kalau Tuan ingin membangun negeri Tuan, ingin membangun
bangsa Turki kembali, Tuan harus kembali memakai cara yang pernah menjayakan
bangsa ini dahulunya !”
Nasehat
diatas adalah tepat.
Suatu
bangsa yang agamanya telah menjadi darah daging, tidak mengkin ditegakkan
dengan sistem yang bertentangan dengan jiwanya.
Sekularisme
mungkin berhasil dilaksanakan pada bangsa luar Islam.
Jika
Revolusi Perancis gagal karena rakyat tidak mendapatkan kebebasan dan
kebahagiaan dalam soal ekonomi, maka Revolusi Turki Muda gagal karena tidak berlandaskan semangat dan jiwa rakyat.
Bukan
di Turki saja kita melihat adanya sekularisme. Juga banyak negara-negara Islam
yang menyebutkan dalam Undang-Undang Dasarnya berdasarkan Islam, tapi sistem
perundang-undangan menyimpang dari tuntunan syari’at.
Dengan
ucapan Dr. A. Kadir Auda Rahimahullah, seorang sarjana Islam Mesir, yang ikut
menggulingkan rezim Farouk waktu Revolusi Mesir 1952, dalam bukunya “Islam dan Perundang-Undangan”.
Sudah menjadi tabi’i bagi Islam, bahwa dia merupakan dasar hukum
pada tiap negeri yang telah dimasukinya, dan bila Islam itu merupakan Agama,
maka ia menjadi syari’at yang sempurna bagi tiap-tiap Muslim.
Karenanya, syari’at Islam adalah merupakan Undang-Undang yang
satu-satunya bagi tiap-tiap negeri Islam sejak Islam menjelma kenegeri itu, dan
hal seperti itu berlangsung terus sampai imperialisme berkuasa menggagahi
negeri-negeri Islam itu. Maka dimasukkannya Perundang-undangan Eropah
kenegeri-negeri Islam; atau karena pembesar-pembesar Islam itu telah dapat
ditipu oleh imperialis, yang seolah-olah masuknya Perundang-undangan Eropah itu
adalah merupakan pelindung dan rahmat. Karena adalah alasan yang berulang-ulang
dikemukakan ialah, bahwa mereka ingin mengambil sebab-sebab kemajuan Barat dan
Eropa, yang seakan-akan kemajuan-kemajuan Barat itu adalah pangkal pada
Perundang-undangan ciptaan manusia, dan seolah-olah kemunduran dan kelemahan
Kaum Muslimin adalah karena disebabkan oleh Syari’at Langit.
Dan saya tahu, bahwa alasan-alasan hampa yang seperti itu telah
tersebar pula dinegeri-negeri Islam, dibenarkan dan dipercayai, dikampanyekan
ditempat-tempat kulliyah dan dicantumkan dikitab-kitab pelajaran sekolah.
Dalil yang dangkal
Bila orang-orang yang lalai itu mau berpikir, mudahlah mereka
mengerti, bahwa alasan-alasan yang mereka pakai itu adalah dangkal. Karena
Undang-Undang yang telah mereka kagumi itu, tidak lain berasal dari negeri
Rumawi.
Dan Perundang-undangan Rumawi itu, tidak dapat mencegah bangsa Arab
dan ummat Islam dari meruntuhkan kerajaan Rumawi, dan Undang-Undang ini juga
tidak dapat menjaga Eropa seluruhnya dari huru-hara yang celaka pada perang
salib.
Adalah gampang bagi kawan-kawan yang telah lalai itu, bila mereka
berpikir, tentu akan tahu, bahwa Syari’at Islam adalah syari’at yang
pertama-tama bagi kaum Muslimin. Syari’at itu menjadi hakim bagi mereka,
sedangkan waktu itu mereka masih sedikit lagipun lemah, masih takut bila diserang
oleh manusia banyak; dan bahwa mereka dibawah naungan Syari’at ini sesudah
duapuluh tahun dari wafatnya Rasulullah Muhammad SAW telah sanggup
menggulingkan kerajaan Persia yang sesat dan sombong itu dari muka bumi, dan
dapat pula mengusir kerajaan Rum dan Syam (Sirya), Mesir dan dari Afrika Utara,
hingga mereka menjadi pemegang tampuk kekuasaan dunia dan pemimpin ummat
manusia lebih dari seribu tahun; dan dibawah naungan Syari’at ini pulalah
mereka dapat memukul tentara salib dan mengalahkan bangsa Tartar, dan memerangi
Eropa sebelah Timur, Selatan dan Baratnya dan mendudukinya selama seratus
tahun, ( 40-41 ).
Hendaklah ummat Islam mengerti, bahwa Islamlah yang menciptakan
mereka menjadikannya sebaik-baik ummat yang dibangkitkan untuk manusia, dan
menyebabkan mereka dulu bisa berkuasa diatas kerajaan-kerajaan dunia; dan bahwa
Syari’at Islam itulah yang mengajar dan mendidik mereka, merasakan artinya
mulia dan jaya; memberikan kekuatan dan cita-cita, melahirkan pahlawan-pahlawan
yang membuka negeri-negeri dan mengasaskan beberapa kerajaan-kerajaan; dan
Syari’at Islam itu pulalah yang melahirkan para Ulama dan pujangga-pujangga
yang memuliakan pengetahuan-pengetahuan dan sastera dengan
sechidmat-chidmatnya.
Kaum Muslimin hendaklah mengerti, bahwa Syari’at Islam itu, adalah
awal syari’at yang membawa manusia kepada persamaan yang sungguh-sungguh dan
keadilan yang mutlak, dan mewajibkan mereka supaya bekerja sama atas dasar
kebaikan dan Taqwa, dan bahwa mereka mengajak kepada etik yang murni, menyuruh
yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar; dan bahwa perundang-undangan buatan
manusia itu tidak berhubungan dengan unsur-unsur tersebut, kecuali kepada
sebagian kecil yang telah dibawa juga oleh Syari’at Islam.
Kaum Muslimin hendaklah mengerti, bahwa Syari’at Islam akan
melakukan tugasnya selama kaum Muslimin berpegang teguh dengan Syari’at itu.
Maka bila mereka telah tinggal ia, dan telah dikosongkan segala
hukum-hukum yang dibawanya, niscaya mereka ditinggalkan oleh kemajuan dan
kembali kepada kemunduran yang gelap gulita dimana mereka selama ini sebelum
datang Islam – dalam keadaan buta; kembalilah mereka lemah dan diperbudak,
tidak sanggup lagi untuk menangkis perkosaan dan mencegah penganiayaan. (43).
Chusus mengenai Negeri Islam Mesir Auda berkata :
Inilah Mesir, Negeri Islam yang telah berabad-abad dalam ke
Islamannya, dulu ia menempatkan dirinya untuk membela Islam dan menyebarkannya
pada seperempat dunia. Dan begitulah ia sekarang mengorbankan segala
kesungguhan apa yang ia miliki untuk membangkitkan kaum Muslimin, dan
membetulkan kepercayaan mereka dan mengatur barisan mereka supaya sama dan
menyatukan arah dan mendorong mereka kepada satu jalan yang sama, yaitu :
menghidupkan Negara Islam dan meninggikan Kalimah Islam.
Apa yang diperbuat Mesir yang Islam terhadap Islam ?
Sesudah itu, mari kita meninjau pula apa yang diperbuat oleh Mesir
terhadap dirinya sendiri dan terhadap Agama Islam yang ia imani dan ia
agungkan. Marilah kita lihat apa yang diperkuat Mesir hari ini terhadap Islam
dibawah pengaruh Undang-Undang ciptaan manusia yang dipindahkan dari Negeri
Perancis yang durhaka (kufur) itu, atau dari negeri Inggris yang hidupnya
menipu Islam, atau dari negeri Italia yang tidak bosan-bosan hidupnya untuk
memerangi Islam. Itulah Perundang-undangan yang diambil dari negeri-negeri yang
tidak Islam yang disebut dengan “Masehi”, padahal sebenarnya ia telah terlepas
dari ajaran agama itu yang sebenarnya; dari negeri-negeri yang dikatakan iman
dengan ke-Rasulan Masih ‘alaihissalam, dan pada hal sebenarnya tidak iman, kecuali
dengan syirik, kufur dan engkar kepada Allah.
Negara Mesir beragama Islam tetapi menghampakan Islam.
Mesir yang Islam, yang diatas kepalanya ada kepala Negara Islam,
dan baginya ada pula pemerintahan yang Islam, adalah mempunyai hasrat yang
besar sekali untuk menyatakan, bahwa Agama Negara yang resmi ialah Islam. Dan
demikian itu dicantumkan terang didalam Undang-Undang Dasar. Dan dimaklumkan
kepada Negara, supaya menghormati segala soal-soal Islam. Maka berkuasalah
Negara untuk mengatur pengajaran dan kebudayaan Islam, dan soal-soal ibadat dan
wakaf-wakaf menurut Islam.
Negara dengan sendirinya menjadi kepercayaan untuk mempraktekkan
prinsip-prinsip Islam dalam masyarakat, ekonomi, moral dan achlak, urusan
kehakiman, politik dan sebagainya. Dan tidaklah menjadi ketentuan bagi
Pemerintah Islam dan Negara Islam dengan ini semua, apa-apa yang menyalahi
hukum-hukum Islam.
Tetapi Pemerintah Mesir yang Islam, apa yang selalu
didengung-dengungkannya dan dinyatakannya dalam penetapan-penetapan resmi, tak
bisa mencegah dari berbuat menghampakan Syari’at Islam, dan bahwa ia
mengharamkan apa yang dihalalkan Islam dan sebaliknya menghalalkan apa yang
terang-terang diharamkan oleh Islam.
Bahwa Pemerintah Mesir yang Islam dalam logikanya, adalah
memudahkan saja untuk menjalankan Perundang-undangan Eropa terhadap rakyat
Islam sebagai ganti dari Syari’at Islam, padahal Undang-Undang itu sama sekali
tidak menyamai Syari’at Islam dalam segala seginya, baik dari segi ilmiyah
maupun dari segi seninya.
Karenanya, Undang-Undang ini menyalahi hukum-hukum Islam, dan
dengan begitu Pemerintah Mesir menghampakan Syari’at Islam. Sedangkan Syari’at,
ialah himpunan dari hukum-hukum Islam, maka menghampakannya, berarti
menghampakan Islam. Apalah dengan logika yang jungkir balik dapat dikatakan,
bahwa Pemerintah Islam (Mesir) menegakkan akan Islam dan ia tidak malu-malu
menda’wahkan dirinya sebagai pembela kaum Muslimin dan tegak berdiri untuk
melaksanakan hukum-hukum Islam ? ( 58 – 59 )
Achirnya Auda menggambarkan bekerjasamanya kaum imperialis dengan misi
zending keristen :
Imperialis sebagaimana ia minta bantu kepada para pembesar-pembesar
Islam untuk menghancurkan Islam, iapun meminta tolong pula kepada kaum zending
(misi). Kaum zending yang memandang pula, bahwa adalah suatu pekerjaan yang
sukar untuk mengkafirkan orang Islam dan memalingkannya dari agamanya dengan
secara buru-buru dan secara langsung.
Oleh sebab itu, mereka buatlah rencana yang tinggi mutunya untuk
memalingkan kaum Muslimin dari ajaran agama mereka, yaitu dengan cara
berangsur-angsur dan dengan tidak secara langsung.
Bila kaum Muslimin telah berpaling satu langkah dari ajaran
agamanya, memberi kemungkinan pula mereka akan berpaling selangkah lagi,
lebih-lebih bila hal itu dengan cara evolusi. Beginilah caranya, hingga datang
suatu hari dimana kaum Muslimin telah berpaling dari Islam dan mereka merupakan
pemerang (penantang) agama mereka sendiri kelaknya.
Dan menjadi plan (rencana) bagi kaum zending untuk mengajarkan kaum
Muslimin dalam sekolah-sekolah yang mereka bangun : bahwa agama, sesuatu yang
tersendiri, dan ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang lain pula. Bahwa agama
selama ini adalah melawan akan ilmu pengetahuan yang menjadi asas bagi kemajuan
manusia zaman sekarang. Untuk ini mereka kemukakan berbagai-bagai contoh dalam
sejarah gereja Masehi.
Begitulah mereka mengajarkan kepada putera-putera Muslimin, bahwa
kemunduran mereka adalah berpokok karena berpegang teguh (fanatik) kepada
agama, menjadikan agama itu jadi hukum dalam soal-soal keduniawian.
Kaum Muslimin tidak akan maju-maju selama mereka tidak mau
memisahkan antara agama dan negara, dan harus bernegara seperti apa yang
dilakukan oleh orang-orang Eropa.
Beginilah caranya zending dan imperialis bekerja keras melalui
jalan yang sama dan saling bantu-membantu untuk mencapai suatu tujuan yang sama
pula. ( 122 – 123 ) *)
Sengaja agak panjang kita mengutip ucapan sarjana Islam yang kenamaan
itu. Tujuan kita tidak lain untuk menggambarkan, betapa hebatnya bencana yang
dibawa oleh sekularisme Barat atas Dunia Islam, dan telah diterima oleh
pembesar-pembesar Islam dengan tidak menyadari – barangkali – akibatnya adalah
meruntuhkan sendi dasar Islam sendiri.
Dalam Dekrit 5 Juli 1959 Kembali ke Undang-Undang Dasar 45, Piagam
Jakarta dinyatakan “menjiwai UUD 45 (Mukadimmah dan batangtubuh Konstitusi) dan
adalah merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut”.
Bukankah Piagam Jakarta mengandung kalimat sakti “...... dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya ?”
Kalimat diatas memperingatkan kepada Muslimin seluruhnya, agar dengan
kemampuan dan pengetahuan yang mereka miliki, menjaga jangan sampai di
Indonesia ini berlaku pula sekularisme.
Tugas maha berat tapi agung terletak kini diatas pundak para Ulama dan
sarjana Islam, untuk menggali hukum dan syari’at Islam, sistem
perundang-undangan Islam, guna disumbangkan bagi pembangunan bangsa dan negara.
Masukkanlah sebanyak mungkin unsur ajaran Islam kedalam
Perundang-undangan Negara yang ber Ketuhanan ini.
Hukum dan syari’at Islam yang pernah menjayakan Ummat sebelum kita,
karena mematuhi ajaran yang dibawa Muhammad SAW untuk seluruh isi alam.
Faris Al-Khury, seorang tokoh Keristen Syria yang terkenal itu berkata
dengan jujur :
Muhammad adalah seorang Nabi yang paling besar didunia, tak
pernah masa memperoleh seorang Nabi yang sebanding dengan Muhammad itu. Agama
yang dibawa Muhammad adalah agama yang paling sempurna. Muhammad telah
meletakkan dalam syari’at empat ribu masalah ilmiyah, baik dalam bidang sosial
maupun dalam bidang hukum.
Seluruh sarjana hukum harus mengakui keutamaan Muhammad itu.
Prinsip-prinsip yang dikemukakan Muhammad sesuai dengan ilmu. **)
Syaichul Islam Ibnul Qayyim berkata :
Sesungguhnya syari’at Allah ditegakkan diatas dasar kebijaksanaan
dan kemaslahatan untuk kebahagiaan hidup manusia didunia dan achirat. Semuanya
maslahah.
Maka semua persoalan hidup yang keluar dari batas-batas keadilan
dan kebijaksanaan serta berubah menjadi kecurangan, kekejaman, kerusuhan dan
permainan, maka tidak boleh dimasukkan dalam syari’at Allah, sebab syari’at
Allah adalah lurus buat segenap hambaNya, rahmat kasih sayang Allah terhadap
machluknya untuk dijadikan tempat bernaung dibumi ini dan merupakan hikmah
Allah untuk dijadikan bukti kebenaran para RasulNya. ***)
Para Juru Da’wah juga mempunyai kewajiban untuk mengembangkan,
meratakan faham hukum dan syari’at Islam dalam masyarakat; memperkenalkan hukum
dan syari’at Islam itu kepada manusia umumnya.
Hukum dan syari’at Islam dalam segala aspeknya.
*) A. Kadir Auda, Islam
dan Perundang-undangan, terjemahan H. Firdaus A.N. Japena Dep. Agama ( 1959 )
**) T. Hasbi Ash-Shiddieqy,
Segi-segi Kesempurnaan dan Keagungan Syari’at Islam, Al-Jami’ah : Majalah Ilmu
Agama Islam, I. No. 6, hal. 5.
***) Muhammad Al-Ghazali, Lisa
Minal Islam
d.
Penobrosan
kebudayaan.
e.
Aliran
kebathinan yang tumbuh-menjamur.
f.
Desintegrasi
dalam tubuh Ummat Islam.
6.
Mengembangkan kegiatan yang konstruktif untuk memberi isi dan arti
kepada revolusi kerakyatan disegala nation.
....................................