.....................
.............................
1.
Menemukan kembali ajaran
Islam yang murni dan asli, bersumber kepada Qur-an dan Sunnah.
......................
2.
Ummat
Islam harus menemukan dirinya kembali.
.......................
3.
Menghidupkan
rasa percaya kepada diri sendiri.
..................................
4.
Menghidupkan
ruhul-jihad, dinamisme dan optimisme.
....................................
.....................................
a.
Serbuan-teratur dari
kaum Masehi.
...........................
b.
Marxisme, materialisme,
atheisme dan komunisme.
...........................
...........................
...........................
e.
Aliran
kebathinan yang tumbuh-menjamur.
Setelah Indonesia Merdeka tumbuh dalam masyarakat kita gerakan dan aliran
kebathinan, laksana jamur dimusim hujan.
Kecewa melihat permainan manusia dan rusuh serta risau menyaksikan
gelagat dunia, mendorong manusia kembali mencari isi dan arti hidup kedalam
benua ruhani.
Ungkapan Sufi masa silam didalami kembali. Fatwa pujangga zaman bahari
dibongkar, kalau-kalau disana bertemu kepuasan jiwa, hakekat bahagia.
Karena tak tahan melihat kepalsuan dan kelancungan manusia, dia kembali
berbisik dengan dirinya sendiri.
Jiwa yang kering dan letih karena hempasan suasana, lelah karena
bantingan badai peristiwa, sekarang hendak terbang kenirwana meninggalkan dunia
yang penuh dengan noda dan pesona.
“Selamat tinggal, wahai manusia dan dunia, aku hendak pergi
kealam sana mencari ketenangan, mencari bahagia dibalik awan-gemawan !”
Telah penat kakinya menempuh jalan hidup yang tidak berujung dan
berpangkal ini.
Telah habis daya dan tenaga mengarungi laut-kehidupan yang tidak
bertepi ini. Dunia dan harta, kedudukan dan pangkat, kedudukan dan jabatan,
pengaruh dan nama harum, tidak menarik baginya.
Dia ingin mencari hakekat. Dia hendak menggali rahasia dan misteri
hidup, dan hendak tenggelam serta fana disana.
Itulah seruan jiwa dan tuntutan sukma dalam diri Insan yang rindu
hendak bertemu dengan Tuhannya.
Al ‘Allamah A.R. Sutan Mansur dalam bukunya “Tauhid Membentuk Pribadi Muslim” (1962) melukiskan jiwa manusia
dengan ukara kata yang indah :
Bertambah lama hidup ini dilayari, bertambah ilmu dan
pengertian.
Bertambah pula suara bathin menyatakan gelisah resah.
Bukan yang diangan yang tidak bertemu, bukan yang dicita yang
tidak berhasil. Tetapi apa gerangan yang menyebabkan bathin mendesak meminta
kepuasan dan kesentosaan. Akal dan ilmu telah bekerja sepenuh tenaganya.
Sewaktu menerima hasilnya, maka bathin tetap menyatakan tidak puas. Makan,
pakaian dan kediaman sudah dipenuhi, tapi bathin tetap berontak menyatakan
keluhnya....... Sudah payah menyelami apa lagi kehendak bathin ini yang belum
dipenuhi, bertambah lama dalam pelayarannya bertambah juga gelombang yang
dilaluinya.
Tidak bertambah aman.
Mungkin diri ini lupa bahwa ia ini bukanlah hanya yang menuntut
hak makan, pakaian dan kediaman saja, karena dia bukanlah terhimpun dari bangsa
benda. Didalamnya ada anasir lain, tidak hanya meminta ujud materi. Malah dia
meminta juga yang suci murni.
Ia tidak aman kalau kesenangan menyusahkan orang lain.
Ia lebih gembira melihat orang bergembira karenanya, sebagai
seorang ibu menyelenggarakan anaknya, senyum anak mengobat lelahnya.
Ia tidak mengharap belas.
Dalam usaha mencari hidup-kesucian dan ketenangan ruhani, tempo-tempo
manusia menemui jalan yang benar, jalan yang pernah ditempuh oleh
Salafussalihin, jalan yang diteladankan Sunnah.
Kadangkala dia tersesat ditengah sahara luas, tidak melihat sebutir
terang yang menunjukkan jalan.
Dengan tidak disadarinya barangkali, dia telah jauh mengembara, lepas
dari ketetapan Ilahy, lepas dari syari’at Islamy.
Gerakan kebathinan yang begitu, banyak tumbuh sekarang (1964) dalam
masyarakat kita.
Ia lebih banyak merupakan semacam “Anarchisme” dalam keagamaan memupuk syirik dan churafat,
menghidupkan bid’ah dlalalah.
Gerakan kebathinan yang demikian itu, bukan saja menjadi bahaya bagi
kemurnian Islam, tapi mengandung bahaya juga bagi ketenteraman dan keamanan
masyarakat dan negara.
Gerakan kebathinan yang demikian itu bisa menghilangkan dinamisme
hidup, membuat manusia kehilangan elan vital.
Jiwa yang begitu berbahaya bagi bangsa yang hendak membangun dirinya.
Berbahaya bagi negara yang sedang menyelesaikan tugas revolusinya.
Gerakan dan aliran kebathinan yang begitu kesudahannya tidak mengakui
lagi Agama
Wahyu, Agama Samawy.
Malah, anarchisme-kebathinan itu bisa dan biasa membawa kepada
runtuhnya sendi Ketuhanan.
Dalam sejarah Islam sendiri; faham yang mengajarkan “kesatuan wujud”,
faham “serba tunggal” : satu dan padunya antara Chaliq dengan Machluq, satu dan
padunya antara ‘Abid dan Ma’bud. Tuhan bukan menciptakan segala, tapi ada dalam
segala.
Faham ini tidak melihat lagi selisih dan beda antara agama-agama yang
ada didunia.
Baginya agama adalah sama dan serupa. Kesatuan agama menjadi tujuannya.
Faham ini sekaligus menghapus syari’at, memusnahkan Sunnah.
Faham ini tidak lagi menghargai Wahyu, tapi berpedoman kepada kata
hati.
Faham ini terang tidak mungkin membawa Insan untuk mengenal Tuhan, tapi
bercumbu-cumbuan dengan Hantu.
Keris buatan manusia sendiri dianggapnya bertuah. Kuburan manusia besar
dipandangnya sakti dan keramat, tempat memanjatkan du’a dan munajat,
mengharapkan restu dari tulang belulang berserakan.
Dia ‘uzlah dari masyarakat ramai, talak-tiga dengan dunia yang penuh
noda dan lata, penuh dengan dendam dan benci.
Dia mencari bahagia bathin dan pegangan ruhani kepada rembulan dan
purnamasidi, mencari kebal kedalam lembah dan serasah terjun. Dia mencari
bahagia melalui penderitaan dan kesengsaraan jasmani.
Dia mengembara jauh dalam kehidupan yang larut serta sayup, tidak ambil
asi (tak peduli) lagi dengan soal masyarakat, manusia dan negara.
Faham dan pandangan hidup ini terang telah menyimpang dari ajaran dan
teladan para Anbiyaa dan Auliyaa, menyeleweng dari ajaran dan teladan para
Mursalin dan Shalihin.
Tahukah Andika, bahwa dalam masyarakat kaum Muslimin sendiri, masih
terdapat dan hidup faham dan keyakinan yang bertentangan dengan Sunnah Ilahy
dan Sunnah Nabi itu ?
Lintasan segala abad dalam Dunia Islam penuh ditandai oleh tumbuhnya
banyak Thariqat dan sekte, yang membawa ajaran sendiri-sendiri, membawa bencana
yang mengeruhkan kemurnian Agama Islam.
Waktu revolusi berdarah 19 tahun lalu (1945), kita banyak menyaksikan
churafat sesat dan syirik itu.
Pernah seorang Kiyai membuat kampanye, katanya di Jawa Timur tentara
Gurka berenang didarat, karena dimenterakan oleh Kiyai “anu” yang dianggap
keramat.
Kami (penulis waktu revolusi fisik) pernah mengirim satu pasukan Kiyai dengan para
santrinya, kegaris
depan.
Dikampungnya, sang Kiyai dianggap Keramat, pengaruhnya besar, fatwanya
dipatuhi. Zaman revolusi berdarah adalah Zaman pasukan, zaman perang, membela kemerdekaan.
Sang Kiyai diatas telah siap pula dengan anak buahnya, ribuan jumlahnya. Dia
datang kepada kami minta dikirim kegaris depan.
Melihat semangat revolusi yang meluap-luap, kami kirim jugalah sang
Kiyai dengan pasukannya kedaerah sebelah Barat.
Senjata yang nyata hanyalah golok dan bambu runcing, yang sudah
dimenterakan oleh sang Kiyai. Semua anak buah diberi azimat dan isim,
dilekatkan dipinggang. Dengan itu sepemakai akan menjadi kebal, tak mempan
peluru.
Biasa dalam zaman revolusi, soal syirik dan churafat dibiarkan untuk
kepentingan revolusi.
Setelah dua hari, kami menerima laporan, bahwa sebagian anak buah
pasukan Kiyai kita gugur dimakan peluru Inggris.
Setelah menerima laporan itu, kami mengadakan inspeksi kegaris depan.
Memang, kami mendapatkan mayat bergelimpangan, musnah karena peluru musuh,
musnah bersama azimat dan isim yang melekat dipinggangnya.
Achirnya, kami temui bapa Kiyai yang mendakwakan dirinya “jendral
perang Sabil”. Beliau sendiri ternyata tidak ikut kemedan pertempuran.
Kami dapati dia disebuah rumah kecil, dikawal 25 orang.
Sedang mengapa dia ?
Dia sedang mengelus-elus se-ekor kumbang hitam. Konon kabarnya kumbang
hitam itu jika sudah datang waktunya, bisa disuruh terbang memusnahkan segala
kafir, Inggris, Gurka dan Belanda.
Kami menggeleng-gelengkan kepala menyaksikan bapa Kiyai itu.
Beberapa tahun kemudian, datang berita bahwa Kiyai-keramat yang sakti itu
telah gugur karena peluru gerombolan. Tentunya dia gugur bersama azimat dan isim
pula, agaknya.
Ada seorang Kiyai. Didaerahnya dia menjadi orang besar, pohon beringin tempat
orang berteduh tatkala hujan, bernaung dimasa panas.
Dia malah mendapat julukan pejoang Islam.
Jadi, dia anti Belanda (Nasrani), anti Jepang (Majusi).
Thema pidatonya dimana-mana hanyalah jihad, perang sabil, Syahid dan sebagainya.
Waktu revolusi berdarah, pernah ditawarkan kepadanya untuk menjadi Panglima
Barisan Sabilillah.
Tawaran itu ditolaknya, tanpa memberi alasan, kecuali ucapan : belum waktunya.
Tentu saja orang heran mendengar jawaban itu.
Setelah diselidiki, apa latar belakang ucapan “belum waktunya itu”,
ternyata dia menganut kepercayaan yang aneh.
Begini dongengnya :
Alkisah, pada zaman bahuela, karuhunnya (nenekmoyangnya) mempunyai
sebuah keris.
Keris pusaka mahasakti. Keris itu dengan tidak diketahui hilang entah
kemana. Tangan dan kuasa gaib telah memindahkan keris keramat itu ketempat yang
penuh misteria gelap.
Kelak, keris itu akan datang sendiri. Dengan keris itu segala
kemungkarandan kekafiran didunia akan dibasmi.
Dengan sebilah keris kemenangan Islam akan dimulai dari tempat keris bersemayam.
Waktu ditawarkan kepada sang Kiyai untuk memimpin Barisan Sabilillah,
-- kuasa gaib belum berkenan mengirim keris suci dan sakti itu kepada Kiyai
kita. Jadi perjuangan belum boleh dilancarkan.
Kepada anak-buahnya selalu dikatakannya, bahwa sa’at kembalinya keris
sudah dekat, sabarlah menunggu.
Sampai pulangnya kaum Imperialis meninggalkan pantai dan lautan kita,
sang keris masih bersembunyi ditempat penuh rahasia, tak pernah muncul.
Sampai waktu ini, keris itu masih dipangkuan gaib, masih diharibaan
dongeng.
Tapi orang yang menamakan dirinya Kiyai itu masih percaya kepada keris
buatan manusia itu.
Ketuhanan Keris itu masih banyak meracuni masyarakat kita.
Saya kenal seorang Kiyai.
Pengikutnya banyak, ada puluhan ribu. Wibawanya ditempat itu besar.
Fatwanya ditha’ati, tegahnya dipatuhi. Dia menganut Thariqat.
Oleh murid-muridnya beliau dipanggil Syaichuna (Syech kami)
Diantara amaliyah Thariqatnya yalah membaca wirid setiap petang Jum’ah.
Caranya diatur, kaifiatnya ditetapkan oleh Syeichuna, dalam Wiridan
tidak boleh menyingpang dari ketetapan Guru.
Sekian ribu sekali wirid harus selesai : penebus dosa, pembeli karcis
untuk dibolehkan masuk kedalam sorga kelak.
Demikian berlaku setiap minggu, hukumnya wajib.
Kalau sudah ada diantara muridnya membuat guha disekeliling
perkampungan itu.
Dalam guha itu bersamadilah muridnya untuk sekian hari, dzikir dan
wirid.
Dengan mengamalkan itu diharapkan datangnya Nur (cahaya) dan suara
gaib, seperti Muhammad dahulu mengheningkan dirinya diguha Hira menanti Wahyu.
Pada bulan Rabiul Awwal, diadakan perayaan besar-besaran, lebih meriah
dari hari raya yang sebenarnya (Idulfitri dan Idulqurban).
Para murid mengirim kerbau, sapi, kambing, ayam dan ikan, wang dan
beras, dan apa saja yang bisa disumbangkan. Waktu Mauludan biasanya Syaichuna
sendiri yang membaca berzanji.
Pada waktunya ribuan manusia telah berkumpul dalam Masjid.
Ditengah-tengah Masjid sudah tersedia aneka macam makanan dan minuman.
Tiap-tiap jenis makanan ada tulisan atau merk : Rasulullah. Syaichuna berkenan
berdiri membaca berzanji, diikuti oleh orang ramai.
Semuanya menangis tersedu-sedu, tunduk chusyu’, sebab waktu itu ruh
Rasulullah sedang hadir, menyaksikan kelakuan mereka.
Yang dikemukakan diatas hanyalah sesibir misal, sekelumit contoh dari
sekian banyak kenyataan yang kita baca dalam tubuhnya ummat Islam.
Semuanya itu berkedok Tasawwuf.
Tasawwuf apa itu ? Tasawwuf yang meruntuhkan Sunnah, Tasawwuf yang
memusnahkan syari’at Islamiyah.
Tasawwuf yang telah mengebiri kemurnian dan kesempurnaan Islam; yang
telah mengeping-ngeping ajaran Muhammad dalam pola; Thariqat, Syari’at, Ma’rifat
dan Haqiqat, komplit dengan pembagian kasta dan kelas manusia, seukuran dengan
tingkat kematangan sang murid menurut taksiran guru (Mursyid).
Berapakah jumlahnya Kiyai-Kiyai yang demikian itu dengan
pengikut-pengikutnya ?
Kita tidak bisa menaksir.
Belum lagi kita bicara tumbuhnya agama-agama baru, atau agama-agamaan.
Agama-siliwangi, agama-kuring, imam-mahdi, gerakan-samin, islam-hak,
islam-sajati, dan masih banyak lagi organisasi mistik dan tasawwuf.
Bukankah sering kita membaca dalam suratkabar gerakan-gerakan yang
seperti itu kerap pula melahirkan pelanggaran susila ?
Pembaca ! Jika Piagam Jakarta mewajibkan Ummat Islam untuk menjalankan
hukum dan syari’at Islam (Quran dan Sunnah), baiklah membasmi bid’ah dan
churafat itu kita beri priorita yang pertama.
Persoalan ini merupakan tentangan bagi Ummat Islam. Para Muballighin
dan Juru Da’wah bertanggung jawab kelak dihadapan Rabbun Jalil.
f.
Desintegrasi
dalam tubuh Ummat Islam.
6.
Mengembangkan kegiatan yang konstruktif untuk memberi isi dan arti
kepada revolusi kerakyatan disegala nation.
....................................