Bab 1 Bab 2 Bab 3 Bab 4 Bab 5 Bab 6 Bab 7

 

VII. IDEOLOGI DAN STRATEGI DA’WAH

 

 

A. Fungsi Wahyu

.....................

 

B. Membangun Dunia Islam

.............................

 

1.       Menemukan kembali ajaran Islam yang murni dan asli, bersumber kepada Qur-an dan Sunnah.

......................

2.       Ummat Islam harus menemukan dirinya kembali.

.......................

3.       Menghidupkan rasa percaya kepada diri sendiri.

..................................

4.       Menghidupkan ruhul-jihad, dinamisme dan optimisme.

....................................

5.        Menjawab tantangan.

.....................................

a.       Serbuan-teratur dari kaum Masehi.

...........................

b.       Marxisme, materialisme, atheisme dan komunisme.

...........................

c.       Sekularisme, La Dinyah.

...........................

d.       Penobrosan kebudayaan.

...........................

           

e.       Aliran kebathinan yang tumbuh-menjamur.

Setelah Indonesia Merdeka tumbuh dalam masyarakat kita gerakan dan aliran kebathinan, laksana jamur dimusim hujan.

Kecewa melihat permainan manusia dan rusuh serta risau menyaksikan gelagat dunia, mendorong manusia kembali mencari isi dan arti hidup kedalam benua ruhani.

Ungkapan Sufi masa silam didalami kembali. Fatwa pujangga zaman bahari dibongkar, kalau-kalau disana bertemu kepuasan jiwa, hakekat bahagia.

Karena tak tahan melihat kepalsuan dan kelancungan manusia, dia kembali berbisik dengan dirinya sendiri.

Jiwa yang kering dan letih karena hempasan suasana, lelah karena bantingan badai peristiwa, sekarang hendak terbang kenirwana meninggalkan dunia yang penuh dengan noda dan pesona.

“Selamat tinggal, wahai manusia dan dunia, aku hendak pergi kealam sana mencari ketenangan, mencari bahagia dibalik awan-gemawan !”

Telah penat kakinya menempuh jalan hidup yang tidak berujung dan berpangkal ini.

Telah habis daya dan tenaga mengarungi laut-kehidupan yang tidak bertepi ini. Dunia dan harta, kedudukan dan pangkat, kedudukan dan jabatan, pengaruh dan nama harum, tidak menarik baginya.

Dia ingin mencari hakekat. Dia hendak menggali rahasia dan misteri hidup, dan hendak tenggelam serta fana disana.

Itulah seruan jiwa dan tuntutan sukma dalam diri Insan yang rindu hendak bertemu dengan Tuhannya.

Al ‘Allamah A.R. Sutan Mansur dalam bukunya “Tauhid Membentuk Pribadi Muslim” (1962) melukiskan jiwa manusia dengan ukara kata yang indah :

Bertambah lama hidup ini dilayari, bertambah ilmu dan pengertian.

Bertambah pula suara bathin menyatakan gelisah resah.

Bukan yang diangan yang tidak bertemu, bukan yang dicita yang tidak berhasil. Tetapi apa gerangan yang menyebabkan bathin mendesak meminta kepuasan dan kesentosaan. Akal dan ilmu telah bekerja sepenuh tenaganya. Sewaktu menerima hasilnya, maka bathin tetap menyatakan tidak puas. Makan, pakaian dan kediaman sudah dipenuhi, tapi bathin tetap berontak menyatakan keluhnya....... Sudah payah menyelami apa lagi kehendak bathin ini yang belum dipenuhi, bertambah lama dalam pelayarannya bertambah juga gelombang yang dilaluinya.

Tidak bertambah aman.

Mungkin diri ini lupa bahwa ia ini bukanlah hanya yang menuntut hak makan, pakaian dan kediaman saja, karena dia bukanlah terhimpun dari bangsa benda. Didalamnya ada anasir lain, tidak hanya meminta ujud materi. Malah dia meminta juga yang suci murni.

Ia tidak aman kalau kesenangan menyusahkan orang lain.

Ia lebih gembira melihat orang bergembira karenanya, sebagai seorang ibu menyelenggarakan anaknya, senyum anak mengobat lelahnya.

Ia tidak mengharap belas.


Dalam usaha mencari hidup-kesucian dan ketenangan ruhani, tempo-tempo manusia menemui jalan yang benar, jalan yang pernah ditempuh oleh Salafussalihin, jalan yang diteladankan Sunnah.

Kadangkala dia tersesat ditengah sahara luas, tidak melihat sebutir terang yang menunjukkan jalan.

Dengan tidak disadarinya barangkali, dia telah jauh mengembara, lepas dari ketetapan Ilahy, lepas dari syari’at Islamy.

Gerakan kebathinan yang begitu, banyak tumbuh sekarang (1964) dalam masyarakat kita.

Ia lebih banyak merupakan semacam “Anarchisme” dalam keagamaan memupuk syirik dan churafat, menghidupkan bid’ah dlalalah.

Gerakan kebathinan yang demikian itu, bukan saja menjadi bahaya bagi kemurnian Islam, tapi mengandung bahaya juga bagi ketenteraman dan keamanan masyarakat dan negara.

Gerakan kebathinan yang demikian itu bisa menghilangkan dinamisme hidup, membuat manusia kehilangan elan vital.

Jiwa yang begitu berbahaya bagi bangsa yang hendak membangun dirinya.

Berbahaya bagi negara yang sedang menyelesaikan tugas revolusinya.

Gerakan dan aliran kebathinan yang begitu kesudahannya tidak mengakui lagi Agama Wahyu, Agama Samawy.

Malah, anarchisme-kebathinan itu bisa dan biasa membawa kepada runtuhnya sendi Ketuhanan.

Dalam sejarah Islam sendiri; faham yang mengajarkan “kesatuan wujud”, faham “serba tunggal” : satu dan padunya antara Chaliq dengan Machluq, satu dan padunya antara ‘Abid dan Ma’bud. Tuhan bukan menciptakan segala, tapi ada dalam segala.

Faham ini tidak melihat lagi selisih dan beda antara agama-agama yang ada didunia.

Baginya agama adalah sama dan serupa. Kesatuan agama menjadi tujuannya.

Faham ini sekaligus menghapus syari’at, memusnahkan Sunnah.

Faham ini tidak lagi menghargai Wahyu, tapi berpedoman kepada kata hati.

Faham ini terang tidak mungkin membawa Insan untuk mengenal Tuhan, tapi bercumbu-cumbuan dengan Hantu.

Keris buatan manusia sendiri dianggapnya bertuah. Kuburan manusia besar dipandangnya sakti dan keramat, tempat memanjatkan du’a dan munajat, mengharapkan restu dari tulang belulang berserakan.

Dia ‘uzlah dari masyarakat ramai, talak-tiga dengan dunia yang penuh noda dan lata, penuh dengan dendam dan benci.

Dia mencari bahagia bathin dan pegangan ruhani kepada rembulan dan purnamasidi, mencari kebal kedalam lembah dan serasah terjun. Dia mencari bahagia melalui penderitaan dan kesengsaraan jasmani.

Dia mengembara jauh dalam kehidupan yang larut serta sayup, tidak ambil asi (tak peduli) lagi dengan soal masyarakat, manusia dan negara.

Faham dan pandangan hidup ini terang telah menyimpang dari ajaran dan teladan para Anbiyaa dan Auliyaa, menyeleweng dari ajaran dan teladan para Mursalin dan Shalihin.

Tahukah Andika, bahwa dalam masyarakat kaum Muslimin sendiri, masih terdapat dan hidup faham dan keyakinan yang bertentangan dengan Sunnah Ilahy dan Sunnah Nabi itu ?

Lintasan segala abad dalam Dunia Islam penuh ditandai oleh tumbuhnya banyak Thariqat dan sekte, yang membawa ajaran sendiri-sendiri, membawa bencana yang mengeruhkan kemurnian Agama Islam.

Waktu revolusi berdarah 19 tahun lalu (1945), kita banyak menyaksikan churafat sesat dan syirik itu.

Pernah seorang Kiyai membuat kampanye, katanya di Jawa Timur tentara Gurka berenang didarat, karena dimenterakan oleh Kiyai “anu” yang dianggap keramat.

Kami (penulis waktu revolusi fisik) pernah mengirim satu pasukan Kiyai dengan para santrinya, kegaris depan.

Dikampungnya, sang Kiyai dianggap Keramat, pengaruhnya besar, fatwanya dipatuhi. Zaman revolusi berdarah adalah Zaman pasukan, zaman perang, membela kemerdekaan. Sang Kiyai diatas telah siap pula dengan anak buahnya, ribuan jumlahnya. Dia datang kepada kami minta dikirim kegaris depan.

Melihat semangat revolusi yang meluap-luap, kami kirim jugalah sang Kiyai dengan pasukannya kedaerah sebelah Barat.

Senjata yang nyata hanyalah golok dan bambu runcing, yang sudah dimenterakan oleh sang Kiyai. Semua anak buah diberi azimat dan isim, dilekatkan dipinggang. Dengan itu sepemakai akan menjadi kebal, tak mempan peluru.

Biasa dalam zaman revolusi, soal syirik dan churafat dibiarkan untuk kepentingan revolusi.

Setelah dua hari, kami menerima laporan, bahwa sebagian anak buah pasukan Kiyai kita gugur dimakan peluru Inggris.

Setelah menerima laporan itu, kami mengadakan inspeksi kegaris depan. Memang, kami mendapatkan mayat bergelimpangan, musnah karena peluru musuh, musnah bersama azimat dan isim yang melekat dipinggangnya.

Achirnya, kami temui bapa Kiyai yang mendakwakan dirinya “jendral perang Sabil”. Beliau sendiri ternyata tidak ikut kemedan pertempuran.

Kami dapati dia disebuah rumah kecil, dikawal 25 orang.

Sedang mengapa dia ?

Dia sedang mengelus-elus se-ekor kumbang hitam. Konon kabarnya kumbang hitam itu jika sudah datang waktunya, bisa disuruh terbang memusnahkan segala kafir, Inggris, Gurka dan Belanda.

Kami menggeleng-gelengkan kepala menyaksikan bapa Kiyai itu.

Beberapa tahun kemudian, datang berita bahwa Kiyai-keramat yang sakti itu telah gugur karena peluru gerombolan. Tentunya dia gugur bersama azimat dan isim pula, agaknya.

Ada seorang Kiyai. Didaerahnya dia menjadi orang besar, pohon beringin tempat orang berteduh tatkala hujan, bernaung dimasa panas.

Dia malah mendapat julukan pejoang Islam.

Jadi, dia anti Belanda (Nasrani), anti Jepang (Majusi).

Thema pidatonya dimana-mana hanyalah jihad, perang sabil, Syahid dan sebagainya.

Waktu revolusi berdarah, pernah ditawarkan kepadanya untuk menjadi Panglima Barisan Sabilillah.

Tawaran itu ditolaknya, tanpa memberi alasan, kecuali ucapan : belum waktunya. Tentu saja orang heran mendengar jawaban itu.

Setelah diselidiki, apa latar belakang ucapan “belum waktunya itu”, ternyata dia menganut kepercayaan yang aneh.

Begini dongengnya :

Alkisah, pada zaman bahuela, karuhunnya (nenekmoyangnya) mempunyai sebuah keris.

Keris pusaka mahasakti. Keris itu dengan tidak diketahui hilang entah kemana. Tangan dan kuasa gaib telah memindahkan keris keramat itu ketempat yang penuh misteria gelap.

Kelak, keris itu akan datang sendiri. Dengan keris itu segala kemungkarandan kekafiran didunia akan dibasmi.

Dengan sebilah keris kemenangan Islam akan dimulai dari tempat keris bersemayam.

Waktu ditawarkan kepada sang Kiyai untuk memimpin Barisan Sabilillah, -- kuasa gaib belum berkenan mengirim keris suci dan sakti itu kepada Kiyai kita. Jadi perjuangan belum boleh dilancarkan.

Kepada anak-buahnya selalu dikatakannya, bahwa sa’at kembalinya keris sudah dekat, sabarlah menunggu.

Sampai pulangnya kaum Imperialis meninggalkan pantai dan lautan kita, sang keris masih bersembunyi ditempat penuh rahasia, tak pernah muncul.

Sampai waktu ini, keris itu masih dipangkuan gaib, masih diharibaan dongeng.

Tapi orang yang menamakan dirinya Kiyai itu masih percaya kepada keris buatan manusia itu.

Ketuhanan Keris itu masih banyak meracuni masyarakat kita.

Saya kenal seorang Kiyai.

Pengikutnya banyak, ada puluhan ribu. Wibawanya ditempat itu besar. Fatwanya ditha’ati, tegahnya dipatuhi. Dia menganut Thariqat.

Oleh murid-muridnya beliau dipanggil Syaichuna (Syech kami)

Diantara amaliyah Thariqatnya yalah membaca wirid setiap petang Jum’ah.

Caranya diatur, kaifiatnya ditetapkan oleh Syeichuna, dalam Wiridan tidak boleh menyingpang dari ketetapan Guru.

Sekian ribu sekali wirid harus selesai : penebus dosa, pembeli karcis untuk dibolehkan masuk kedalam sorga kelak.

Demikian berlaku setiap minggu, hukumnya wajib.

Kalau sudah ada diantara muridnya membuat guha disekeliling perkampungan itu.

Dalam guha itu bersamadilah muridnya untuk sekian hari, dzikir dan wirid.

Dengan mengamalkan itu diharapkan datangnya Nur (cahaya) dan suara gaib, seperti Muhammad dahulu mengheningkan dirinya diguha Hira menanti Wahyu.

Pada bulan Rabiul Awwal, diadakan perayaan besar-besaran, lebih meriah dari hari raya yang sebenarnya (Idulfitri dan Idulqurban).

Para murid mengirim kerbau, sapi, kambing, ayam dan ikan, wang dan beras, dan apa saja yang bisa disumbangkan. Waktu Mauludan biasanya Syaichuna sendiri yang membaca berzanji.

Pada waktunya ribuan manusia telah berkumpul dalam Masjid. Ditengah-tengah Masjid sudah tersedia aneka macam makanan dan minuman. Tiap-tiap jenis makanan ada tulisan atau merk : Rasulullah. Syaichuna berkenan berdiri membaca berzanji, diikuti oleh orang ramai.

Semuanya menangis tersedu-sedu, tunduk chusyu’, sebab waktu itu ruh Rasulullah sedang hadir, menyaksikan kelakuan mereka.

Yang dikemukakan diatas hanyalah sesibir misal, sekelumit contoh dari sekian banyak kenyataan yang kita baca dalam tubuhnya ummat Islam.

Semuanya itu berkedok Tasawwuf.

Tasawwuf apa itu ? Tasawwuf yang meruntuhkan Sunnah, Tasawwuf yang memusnahkan syari’at Islamiyah.

Tasawwuf yang telah mengebiri kemurnian dan kesempurnaan Islam; yang telah mengeping-ngeping ajaran Muhammad dalam pola; Thariqat, Syari’at, Ma’rifat dan Haqiqat, komplit dengan pembagian kasta dan kelas manusia, seukuran dengan tingkat kematangan sang murid menurut taksiran guru (Mursyid).

Berapakah jumlahnya Kiyai-Kiyai yang demikian itu dengan pengikut-pengikutnya ?

Kita tidak bisa menaksir.

Belum lagi kita bicara tumbuhnya agama-agama baru, atau agama-agamaan. Agama-siliwangi, agama-kuring, imam-mahdi, gerakan-samin, islam-hak, islam-sajati, dan masih banyak lagi organisasi mistik dan tasawwuf.

Bukankah sering kita membaca dalam suratkabar gerakan-gerakan yang seperti itu kerap pula melahirkan pelanggaran susila ?

Pembaca ! Jika Piagam Jakarta mewajibkan Ummat Islam untuk menjalankan hukum dan syari’at Islam (Quran dan Sunnah), baiklah membasmi bid’ah dan churafat itu kita beri priorita yang pertama.

Persoalan ini merupakan tentangan bagi Ummat Islam. Para Muballighin dan Juru Da’wah bertanggung jawab kelak dihadapan Rabbun Jalil.

 

           

f.         Desintegrasi dalam tubuh Ummat Islam.

 

 

 

6.       Mengembangkan kegiatan yang konstruktif untuk memberi isi dan arti kepada revolusi kerakyatan disegala nation.

....................................