Bab 1 Bab 2 Bab 3 Bab 4 Bab 5 Bab 6 Bab 7

 

VII. IDEOLOGI DAN STRATEGI DA’WAH

 

 

A. Fungsi Wahyu

.....................

 

B. Membangun Dunia Islam

.............................

 

1.       Menemukan kembali ajaran Islam yang murni dan asli, bersumber kepada Qur-an dan Sunnah.

......................

2.       Ummat Islam harus menemukan dirinya kembali.

.......................

3.       Menghidupkan rasa percaya kepada diri sendiri.

..................................

4.       Menghidupkan ruhul-jihad, dinamisme dan optimisme.

....................................

5.        Menjawab tantangan.

.....................................

a.       Serbuan-teratur dari kaum Masehi.

...........................

b.       Marxisme, materialisme, atheisme dan komunisme.

...........................

c.       Sekularisme, La Dinyah.

...........................

d.       Penobrosan kebudayaan.

...........................

e.       Aliran kebathinan yang tumbuh-menjamur.

...........................

           

f.         Desintegrasi dalam tubuh Ummat Islam.

Nabi Muhammad SAW mengatakan dalam Haditsnya, bahwa ummatnya (Mu’minin) adalah ibarat tubuh yang satu (kal jasadil wahid), jika ada anggota tubuh itu yang menderita sakit, walaupun bagaimana kecil dan tidak berarti, seluruh tubuh merasakan sakitnya.

Ummat Islam adalah Ummat-kesatuan dan Ummat-kesaudaraan !

Kesatuan dan kesaudaraan bukan karena mereka satu bangsa atau bahasa, bukan karena satu suku atau rumpun.

Beda bangsa dan bahasanya, tidak sama keturunan dan rumpun yang melahirkannya.

Berlain tanahair tempat mereka dilahirkan, tidak sama kulit dan warnanya, bentuk dan tempatnya.

Berbeda-beda adat lembaganya, iklim dan hawanya, silsilah keturunannya.

Tidak sama dan tidak serupa !

Namun begitu, Rasulullah SAW mengatakan, bahwa mereka adalah ummat yang satu dan tubuh yang satu.

Apa gerangan yang mengikat mereka, dan menjadikan mereka menjadi Ummat yang satu dan tubuh yang satu ?

Ummat uchuwwah itu melebur dirinya dalam satu keyakinan dan kepercayaan, Iman dan Agama.

Mereka bersatu dan bersaudara karena keyakinan dan kepercayaan, Iman dan Agama.

Mereka satu dan padu karena “kesatuan-aqidah” (wihdatul ‘aqidah).

Wihdatul ‘Aqidah menciptakan Wihdatul Ummah (kesatuan Ummat); wihdatul ‘Aqidah melahirkan Tauhid ul Kalimah, kesatuan kalimat.

Karena Wihdatul ‘Aqidah ummat ini menjadi satu dan padu, senasib dan sepenanggungan, serasa dan sesuara.

Setiap  tubuh yang hidup, - levend organisme, tiap-tiap bahagian dari tubuh yang satu dan jasad yang sebuah itu menjalankan fungsinya untuk kebahagiaan dan keselamatan semuanya.

Masing-masing anggauta tubuh menjalankan tugasnya bukan hanya untuk keselamatan bahagiannya atau dirinya, tapi untuk keselamatan dan kebahagiaan seluruh tubuh.

Sadar atas kesatuan dan kesamaan itu, berlaku timbalbalik antara susunan tubuh.

Satu bahagian dari tubuh yang “satu” itu memantangkan dirinya untuk berbuat salah dan keliru, karena kesalahan dan kekeliruan yang dilakukannya itu akibatnya bukan hanya akan ditanggungkannya sendiri, tapi akan menimpa kepada seluruh tubuh.

Dia tidak akan mencari kesenangan dengan cara menyusahkan anggota tubuh yang lainnya.

Tidak akan selamat yang satu dengan kerusakan yang lainnya.

Alangkah indah dan agungnya gambaran cita-cita kesaudaraan dan kesatuan Ummat Islam, yang dirumuskan sendiri oleh pemimpinnya, Muhammad SAW, dengan ucapan dan perbuatannya !

Pembaca ! Jika kita menyaksikan Ummat Islam zaman kita tidak lagi serupa dengan rumus -  Nubuwwah diatas, masihkah kita berhak mengaku menjadi Ummat Muhammad, yang berhak memiliki kemenangan dan kejayaan ?

Lenyap dan hirapnya kesetia-kawanan, tiadanya lagi solidarisme, menonjolnya sifat-sifat ananiyah, ke-akuan, egosentrisme, malah telah sampai kepada “sadisme” (senang dan gembira karena malapetaka dan bencana yang menimpa teman se’aqidah).

Merasa tidak aman hidup kecuali dengan membinasakan dan memusnahkan saudaranya sendiri.

Masihkah Ummat Islam yang demikian itu berhak berkata kepada manusia, bahwa mereka adalah Ummat yang terbaik didunia, Ummat yang telah siap untuk membangun Dunia Baru Kemanusiaan Baru ?

Dalam sorotan yang demikian itulah Ummat Islam seluruh dunia sekarang ini (1964).

Dari Maroko sampai ke Marauke, dari Andalus hingga ke Andalas, dari Masyriqi sampai ke Maghribi.

Yang senang dan mewah rupanya tidak merasa, bahwa kesenangan dan kemewahan hidupnya itu, ada hubungan langsung dengan kemelaratan saudaranya yang lain, dan itu akan dipertanggung jawabkannya dihadapan Allah kelak di Yaumilhisaab.

Ummat Islam sudah tidak lagi merupakan Ummat yang hidup tupang-menupang, tolong-menolong dan kuat-menguatkan antara bahagian yang satu dengan bahagian yang lain.

Tapi sikut-menyikut, jatuh-menjatuhkan, lemah-melemahkan.

Ummat Islam sudah tidak mampu mencari bidang-bidang kesamaan antara mereka, tidak mampu menghadapi persoalan bersama mereka, mereka malah curiga mencurigai.

Herankah orang, jika negara-negara Islam (Arab) yang kaya dana dan tenaga manusia itu sampai kini tak kunjung berhasil “membereskan” segelintir kaum Yahudi di Palestina ?

Herankah orang, jika 100 juta bangsa Arab sampai kini (1964) belum mampu mengusir sisa-sisa imperialis Inggris dari Selatan Arabia ?

Herankah orang, jika Ummat Islam seluruh Asia dan Afrika ratusan tahun lamanya dibelenggu oleh imperialis Barat ?

Pusat persoalan terletak pada tubuh Ummat Islam sendiri.

Desintegrasi, - Partai-isme, sektarisme dan separatisme, adanya dualisme pimpinan dikalangan mereka, telah melumpuhkan segala arti dan potensi, telah menempatkan mereka pada suatu posisi yang lemah.

Wahyu Ilahy telah memberi peringatan dengan kalimat yang tegas :

Kaum kafirin adalah sebagian menjadi penolong bagi yang lainnya; jika kamu tidak berbuat begitu, pasti akan timbul fitnah dibumi dan akan merata bencana dan kerusakan.

Kaum Mu’minin, yang berhijrah dan berjuang pada jalan Allah dan orang-orang yang melindungi dan menolong, adalah Mu’min sejati, bagi mereka disediakan keampunan dan Karunia yang mulia.

QS. Al Anfal : 73 – 74

Peringatan wahyu diatas jelas dan tegas.

Kalau Ummat Islam tidak mampu mengadakan kerja sama antara mereka, tidak mampu mewujudkan kegotong-royongan antara mereka, maka timbullah fitnah dan bencana didunia, ialah kelumpuhan Ummat Islam sendiri, kelemahan dan kegagalan dalam segala sektor, dalam segala ruang dan bidang.

Dari tubuh yang sudah pecah berderai dan merapung dalam paya dan integrasi, tidak mungkin akan mampu berbuat sesuatu yang berarti bagi dunia dan kemanusiaan. Dalam masa berbilang abad Ummat Islam kehilangan kepribadian. Suara yang mereka ketengahkan bukan lagi gambaran budi dan nurani mereka sendiri.

Mereka pada umumnya hanya meng-copy gagasan-gagasan luar, menjadi burung-beo dari dunia luar. Mereka tidak lagi menjadi “juru-bicara” dari Agama yang mereka anut, tetapi hanya penyambung lidah dari manusia yang sedang menang, makelar-makelar gelap dari kaum imperialis yang zalim.

Dengarlah keluhan Jamaluddin Al-Afghany dalam majalah “Al ‘Urwatul Wutsqa” puluhan tahun yang lalu :

Ratapku kepada leluhurku zaman silam, teriakku kepada nenekmoyang yang terdahulu.

Dimanakah engkau sekarang, wahai pusat rahmat ?

Dimanakah engkau sekarang wahai kaum yang mempunyai belas kasihan ?

Dimanakah engkau sekarang, wahai bendera kesopanan, wahai sumber kekuatan ?

Dimanakah engkau sekarang, wahai keluarga yang penuh ketinggian, pembela kaum tertindas, penolong manusia teraniaya pada hari kesengsaraan ?

Dimanakah engkau sekarang, wahai sebaik-baik Ummat yang dikeluarkan diantara Ummat manusia, yang menjalankan tugas amar ma’ruf dan nahi munkar ?

Dimanakah engkau sekarang, wahai pahlawan yang gagahberani, wahai perwira dan kesatria, yang menegakkan keadilan, Ummat yang memegang kejujuran, yang berani menyatakan kebenaran, yang mendirikan gedung Ummat ?

Wahai tidakkah engkau melihat dari celah-celah kuburmu, apa yang telah menimpa angkatan setelah engkau, yang telah berbuat bencana atas-keturunan engkau, dan merusakkan taman-sari yang engkau wariskan ?

Mereka telah mengubah dan menjauhi pimpinan engkau yang semula; mereka telah menyimpang dari jalan engkau yang lurus.

Mereka lelah jalan karena meninggalkan jalan engkau, pecah berserakan menjadi beberapa golongan dan partai, sehingga menjadikan mereka lemah, dan kesal dan masygul, jantung mereka laksana terbakar karena duka dan nestapa.

Mereka telah menjadi mangsa yang pasti ditelan oleh bangsa-bangsa lain.

Mereka tak sanggup lagi membela lagi dan mempertahankan diri dari cengkeraman dan terkaman musuh, tak kuasa lagi menolak serangan yang memusnahkan mereka.

Tidakkah ada seseorang dari antara engkau yang berteriak dalam alam barzachmu, guna menyampaikan peringatan kepada orang yang lupa, membangunkan orang yang tidur nyenyak, menunjukkan orang yang sudah tersesat jalan, agar mereka kembali kejalan yang benar *)

Ucapan seorang pejuang besar puluhan tahun yang lalu itu, masih segar dan berlaku seluruhnya buat angkatan kita.

Ucapan yang sewaktu alam Islam meringkuk dibawah telapak kaiki kaum penjajah Barat dan kezaliman para Sulthan dan chalifah dari bangsa-bangsa Islam sendiri itu, masih berlaku buat angkatan kita yang sudah merdeka dari belenggu asing, tapi belum juga mampu berbuat sesuatu kreasi besar dan manfa’at buat agama dan Ummatnya.

Terdapatnya masih desintegrasi antara Ulama yang satu dengan Ulama yang lain, antara Zu’ama yang satu dengan Zu’ama yang lain; desintegrasi antara pemimpin dengan rakyat yang dipimpin. Putus terlepasnya kehidupan kota dengan kehidupan desa : kehidupan kota yang bergerak maju memanjat kejatuhan, kehidupan desa yang tenggelam pada formalisme dan kebiasaan lama, tidak membutuhkan perubahan, reformasi dan modernisasi.

Itulah serentetan tantangan atau “challenge” yang dihadapi Dunia Islam sekarang.

Apakah Ummat Islam mampu memberi jawaban dan pembelaan, memberikan “response” atau apologi terhadap serba tantangan itu ?

Untuk menjawab pertanyaan itu, para pejuang Da’wah mendapat kesempatan pertama, karena merekalah yang setiap waktu bergelimang dalam multi-persoalan Ummat Islam itu.

Mereka justru yang merasakan langsung segala akibat pahit getir yang menimpa tubuhnya Ummat Islam.

Usaha-kegiatan integrasi dan regenerasi Dunia Islam menghendaki pengertian dan kejujuran, kesungguhan, kepenuhan dan ketekunan.

Ia menuntut pengurbanan, pengorbanan perasaan, prestise, gensi dan kepentingan pribadi.

Untuk memberikan prestasi dan kreasi itu kita harus bersedia mengurbankan prestise diri sendiri, untuk kepentingan bersama.

Dalam usaha ketekunan dan kesungguhan itu, mungkin tak ada heroik dan romantik didalamnya, tetapi pekerjaan itu agung adanya.

           

*) Al ‘Urwatul wutsqa hal. 169 – 170

 

6.       Mengembangkan kegiatan yang konstruktif untuk memberi isi dan arti kepada revolusi kerakyatan disegala nation.

....................................